Gaza saat ini mengalami krisis kemanusiaan yang mendalam akibat serangan terus-menerus oleh Israel, setelah serangan Hamas terhadap wilayah Israel pada tanggal 7 Oktober. Sejumlah warga Inggris terjebak dalam situasi yang sulit di tengah konflik ini. Salah satunya adalah keluarga Assalia, yang berusaha meninggalkan Gaza untuk mendapatkan perawatan medis yang sangat dibutuhkan.
Baca Juga: Konflik Mendorong Meningkatnya Anti-Semitisme dan Islamofobia dalam Jaringan di Tiongkok
Keadaan yang Sulit:
Assalia, bersama istri dan enam anak mereka yang semuanya warga Inggris, meninggalkan rumah mereka di London Utara untuk membantu anggota keluarga yang sakit di Yordania. Namun, serangan Israel yang tak kenal lelah terhadap Jalur Gaza membuat ayah Assalia tidak bisa meninggalkan wilayah yang terkepung ini. Ayahnya meninggal minggu lalu karena tidak mendapatkan perawatan medis yang memadai.
Assalia menjelaskan, “Dia meninggal pada tanggal 22 bulan ini, saat perang berkecamuk.” Ketika dia pergi ke rumah sakit untuk mencari cara mengubur ayahnya, dia diminta untuk mencari kuburan sementara di mana pun yang bisa ditemukan, bahkan jika ada mayat lain di sana. Rumah sakit di Gaza saat ini berfungsi sebagai tempat pemakaman yang penuh sesak, karena serangan Israel selama hampir sebulan terakhir telah merenggut lebih dari 9000 nyawa warga Palestina.
Assalia, seorang dosen studi media di London, dan mantan presenter berita dan editor berita berbahasa Inggris untuk Palestina TV bersama Otoritas Palestina dari tahun 1998 hingga 2006, berusaha keras untuk menyelamatkan keluarganya dari Gaza. Mereka termasuk di antara ratusan warga asing dan warga Palestina yang terluka parah yang diizinkan meninggalkan Jalur Gaza sejak perlintasan perbatasan Rafah dengan Mesir dibuka pertama kali sejak pecahnya perang.
Kendala di Jalan Keluar:
Meskipun mereka mendapat panggilan telepon dari Kementerian Luar Negeri Inggris yang memberi tahu bahwa nama mereka ada dalam daftar orang yang diizinkan untuk dievakuasi dari Gaza, perjalanan mereka ke perbatasan Rafah penuh tantangan. Serangan Israel masih terus menggempur jalur antara perbatasan Rafah dan Jabalia, tempat Assalia dan keluarganya melarikan diri setelah intensitas serangan meningkat di sekitar rumah keluarga mereka di pinggiran kota.
Assalia menjelaskan, “Tidak ada taksi yang bisa membawa kami pergi, karena tank-tank Israel menguasai wilayah tersebut.” Dia juga menambahkan, “Kami mendengar bahwa mereka mengebom beberapa mobil sipil dengan penumpang di dalamnya.” Oleh karena itu, dia memanggil enam perusahaan taksi pada pagi Jumat yang memberi tahu bahwa perjalanan selama satu jam di jalan utama Gaza, yaitu Jalan Salah al-Din, sangat berbahaya.
Pada Jumat, Israel mengakui telah membombardir konvoi ambulans yang menuju dari Kota Gaza ke selatan, yang menyebabkan kematian 15 orang menurut pejabat Palestina.
Keluarga Terjebak:
Saat ini, keluarga Assalia terjebak di satu kamar bersama dua keluarga lainnya yang juga warga Inggris. Semuanya hanya bisa bertahan dengan satu kali makan sehari dari makanan kaleng.
Kondisi mereka semakin putus asa. Assalia sendiri terluka pada jari tangannya akibat serangan udara Israel yang menghancurkan jendela di dekatnya. Istrinya hampir kehabisan obat epilepsi. Dan putri mereka yang berusia 22 tahun, seorang mahasiswa kedokteran, mengalami iritasi pada kulitnya yang diduga disebabkan oleh penggunaan senjata fosfor putih yang diduga digunakan oleh Israel.
Human Rights Watch telah menuduh Israel menggunakan senjata kimia ini terhadap warga sipil di Gaza, yang banyak pakar yakini merupakan pelanggaran hukum internasional.
Keluarga Alshanti:
Di Inggris, Nasser Alshanti merasa cemas tentang putrinya dan keluarganya, tetapi merasa lega ketika mendengar bahwa mereka berhasil keluar dari Gaza. Yosra Alshanti, bersama dua anak kecil dan suaminya Ibrahim Taha, melintasi sisi Palestina dari perbatasan Rafah, dan sekarang menunggu untuk pergi ke ibu kota Mesir, Kairo, sebelum mereka terbang ke Inggris.
Komunikasi dengan putri Alshanti dan keluarganya, yang semuanya warga Inggris kecuali Taha, sangat sulit karena gangguan komunikasi di Gaza. Alshanti sendiri yang berhasil mengirim pesan teks kepada menantu lewat WhatsApp tentang masuk dalam daftar orang yang diizinkan untuk meninggalkan Gaza melalui perbatasan Rafah, pesan itu terlambat terkirim.
Meskipun Yosra dan anak-anaknya tidak akan mengalami kesulitan untuk masuk ke Inggris, Taha akan memerlukan izin khusus sebagai warga negara non-Inggris untuk bisa pergi. Alshanti berjuang untuk memastikan bahwa Taha juga diperbolehkan meninggalkan Gaza, mengingat bahwa putrinya sedang hamil dan memiliki dua anak kecil. Dia tidak yakin visa jenis apa yang akan diterima Taha, tetapi ia telah meyakinkan pihak berwenang Inggris untuk memberikan izin tersebut.
Pengalaman Khawatir:
Alshanti telah menyaksikan perkembangan di Gaza selama beberapa minggu terakhir ini dengan kecemasan, khawatir apakah putrinya dan keluarganya, yang telah tinggal di sana selama tujuh tahun terakhir, akan dapat keluar dengan selamat. Dia menyatakan, “Saya tidak bisa menjelaskan perasaan saya. Saya tidak bisa tidur … Saya tidak bisa fokus selama kuliah-kuliah saya. Semua karena pikiran saya sepenuhnya terkait dengan apa yang terjadi di Gaza.“
Alshanti mengucapkan terima kasih atas respons pemerintah Inggris yang telah memastikan keamanan keluarganya dan telah menambahkan Taha ke dalam daftar evakuasi, meskipun ia tidak mendengar kabar apa pun selama lima hari pertama konflik. Dia juga menambahkan bahwa tim pasukan perbatasan Inggris telah terbang dari London ke Kairo untuk memberikan dukungan kepada warga Inggris yang dievakuasi.
Kisah warga Inggris yang terjebak di Gaza ini menggambarkan betapa sulitnya situasi di wilayah tersebut akibat konflik yang terus berlanjut. Evakuasi mereka menjadi tantangan besar, dengan bahaya yang mengancam di sepanjang jalan ke perbatasan Rafah. Keluarga-keluarga ini berharap bisa segera tiba di tempat yang aman dan menjalani kehidupan yang lebih tenang di masa depan.
Sumber: Aljazeera.com