Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu adalah salah satu tokoh Islam yang paling terkenal dan disegani. Ia adalah cucu dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, putra dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dan Fatimah binti Muhammad radhiyallahu ‘anha, dan saudara dari Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhu. Ia juga adalah pemimpin dari Ahlul Bait, yaitu keluarga Nabi yang terdiri dari para keturunan dan kerabatnya.
Kisah hidup Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu adalah kisah yang penuh dengan keberanian, kesabaran, pengorbanan, dan cinta kepada Allah dan RasulNya. Ia adalah seorang yang taat, zuhud, berilmu, dan berakhlak mulia. Ia juga adalah seorang yang berani, adil, dan berwibawa. Ia memiliki peran dan kedudukan yang tinggi dalam Islam, baik sebagai seorang sahabat, imam, syahid, maupun pemimpin.
Namun, kisah hidup Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu juga adalah kisah yang menyedihkan dan mengharukan. Ia menghadapi berbagai fitnah dan ujian yang sangat berat, terutama pada akhir hayatnya. Ia harus menghadapi pemberontakan, pengkhianatan, dan kezaliman dari sebagian umat Islam yang menyimpang dari jalan yang benar. Ia harus mengorbankan dirinya, keluarganya, dan pengikutnya di medan perang Karbala, yang menjadi salah satu tragedi terbesar dalam sejarah Islam.
Dalam artikel ini, kita akan membahas kisah hidup Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu secara singkat dan sederhana. Kita akan mengenal siapa ia, bagaimana ia menghadapi fitnah dan ujian, apa yang terjadi di Karbala, dan bagaimana kita menghormati dan meneladani ia. Semoga artikel ini bermanfaat dan memberikan kita pelajaran dan inspirasi yang berharga. Aamiin.
Baca Juga: Kisah hidup Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhu
Siapa Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu?
Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu lahir pada tahun 4 Hijriyah di Madinah. Ia adalah putra kedua dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dan Fatimah binti Muhammad radhiyallahu ‘anha, dan cucu kesayangan dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia memiliki saudara laki-laki yang bernama Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhu, dan tiga saudara perempuan yang bernama Zainab, Ummu Kultsum, dan Ruqayyah radhiyallahu ‘anhunna.
Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu memiliki silsilah yang mulia dan terhormat. Ia termasuk dalam Bani Hasyim, yaitu cabang dari Bani Quraisy, yang merupakan suku terpandang di kalangan bangsa Arab. Ia juga termasuk dalam Ahlul Bait, yaitu keluarga Nabi yang mendapatkan keistimewaan dan kecintaan dari Allah dan RasulNya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah memilih Bani Kinanah dari anak cucu Ismail, dan memilih Bani Quraisy dari Bani Kinanah, dan memilih Bani Hasyim dari Bani Quraisy, dan memilih aku dari Bani Hasyim.” (HR. Muslim)
Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu memiliki kepribadian dan sifat yang luar biasa. Ia adalah seorang yang taat kepada Allah dan RasulNya, zuhud terhadap dunia, berilmu tentang agama, dan berakhlak mulia. Ia juga adalah seorang yang berani menghadapi musuh, adil dalam memimpin rakyat, dan berwibawa di mata umat. Ia sangat dicintai oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang sering memeluk, mencium, dan memuji ia.
Bagaimana Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu menghadapi fitnah dan ujian?
Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu menghadapi berbagai fitnah dan ujian sepanjang hidupnya, terutama setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia mengalami perpecahan, perselisihan, dan pertempuran antara kaum Muslimin, yang menyebabkan banyak darah tertumpah dan banyak nyawa terenggut. Ia juga mengalami pemberontakan, pengkhianatan, dan kezaliman dari sebagian umat Islam yang menyimpang dari jalan yang benar. Ia juga mengalami kesedihan, kesulitan, dan kesengsaraan yang luar biasa, terutama pada akhir hayatnya.
Salah satu fitnah dan ujian terbesar yang dihadapi oleh Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu adalah sikapnya terhadap pemerintahan Yazid bin Muawiyah. Yazid bin Muawiyah adalah putra dari Muawiyah bin Abi Sufyan, yang merupakan khalifah. Yazid bin Muawiyah menggantikan ayahnya sebagai khalifah pada tahun 60 Hijriyah, setelah ayahnya meninggal dunia.
Yazid bin Muawiyah adalah seorang yang tidak layak menjadi khalifah, karena ia memiliki sifat-sifat yang buruk dan bertentangan dengan Islam. Ia adalah seorang yang fasik, zalim, sombong, dan suka berbuat maksiat. Ia tidak menghormati para sahabat, ulama, dan Ahlul Bait. Ia juga tidak mengindahkan syariat, sunnah, dan hukum Allah. Ia bahkan berani menyerang kota suci Makkah dan Madinah, dan membakar Ka’bah dan Masjid Nabawi.
Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu menolak untuk mengakui dan tunduk kepada Yazid bin Muawiyah sebagai khalifah. Ia menganggap bahwa Yazid bin Muawiyah adalah seorang yang menyalahi agama dan merusak umat. Ia juga menganggap bahwa Yazid bin Muawiyah adalah seorang yang tidak memiliki hak untuk menjadi khalifah, karena ia tidak dipilih oleh syura, yaitu majelis yang terdiri dari para sahabat, ulama, dan pemuka umat. Ia juga menganggap bahwa Yazid bin Muawiyah adalah seorang yang mengambil kekuasaan secara paksa dan tidak adil, dengan menggunakan tipu daya, ancaman, dan kekerasan.
Karena sikapnya yang menentang Yazid bin Muawiyah, Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu mendapat tekanan dan ancaman dari pihakpihak yang mendukung Yazid bin Muawiyah. Ia juga mendapat tantangan dan permintaan dari pihak-pihak yang menentang Yazid bin Muawiyah. Ia harus memilih antara diam, berdakwah, atau berjihad. Ia harus mempertimbangkan antara kebaikan, keburukan, kemudahan, dan kesulitan. Ia harus mempertahankan antara agama, keluarga, dan jiwa.
Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu memutuskan untuk meninggalkan Madinah, kota kelahirannya, dan menuju Makkah, kota suci umat Islam. Ia berangkat pada bulan Rajab tahun 60 Hijriyah, bersama dengan keluarga dan pengikutnya. Ia bermaksud untuk mencari perlindungan dan keselamatan di bawah naungan Ka’bah, dan untuk menunggu situasi yang lebih baik dan lebih jelas. Ia juga bermaksud untuk menghindari pertumpahan darah dan kerusakan di Madinah, dan untuk menjaga kehormatan dan kesucian kota Nabi.
Di Makkah, Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu mendapat banyak dukungan dan simpati dari para penduduk dan peziarah. Ia juga mendapat banyak surat dan utusan dari penduduk Kufah, sebuah kota di Irak yang dikenal sebagai basis kekuatan dan pengaruh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Mereka menulis dan menyampaikan bahwa mereka tidak senang dengan pemerintahan Yazid bin Muawiyah, dan bahwa mereka menginginkan Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu sebagai pemimpin dan imam mereka. Mereka juga menjanjikan bahwa mereka akan mendukung dan membela Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu, jika ia bersedia datang ke Kufah.
Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu merasa terharu dan tertarik dengan surat dan utusan dari penduduk Kufah. Ia menganggap bahwa mereka adalah saudara-saudara seiman yang membutuhkan bantuan dan bimbingan. Ia juga menganggap bahwa mereka adalah peluang dan harapan untuk mengubah keadaan dan memperbaiki umat. Ia juga menganggap bahwa mereka adalah kewajiban dan tanggung jawab yang harus ia penuhi.
Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu memutuskan untuk menuju Kufah, setelah meminta izin dan nasihat dari Allah, keluarga, dan sahabat. Ia berangkat pada bulan Dzulhijjah tahun 60 Hijriyah, bersama dengan keluarga dan pengikutnya. Ia bermaksud untuk menunaikan panggilan dan permintaan dari penduduk Kufah, dan untuk menyampaikan dakwah dan kebenaran kepada mereka. Ia juga bermaksud untuk menghindari konflik dan pertempuran dengan pasukan Yazid bin Muawiyah, yang berencana untuk menyerang Makkah. Ia juga bermaksud untuk menjaga kesucian dan keamanan Ka’bah, dan untuk menghormati bulan haram.
Perjalanan Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu menuju Kufah tidak berlangsung mulus dan aman. Ia menghadapi berbagai rintangan dan bahaya dari pasukan Yazid bin Muawiyah, yang ditugaskan untuk menghentikan dan menangkap ia. Ia juga menghadapi berbagai pengkhianatan dan kekecewaan dari penduduk Kufah, yang berubah sikap dan meninggalkan ia. Ia juga menghadapi berbagai kesulitan dan keterbatasan dari diri sendiri, keluarga, dan pengikutnya.
Salah satu rintangan dan bahaya yang dihadapi oleh Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu adalah pertemuan dengan pasukan yang dipimpin oleh Hurr bin Yazid Ar-Riyahi. Hurr bin Yazid Ar-Riyahi adalah seorang panglima dari pasukan Yazid bin Muawiyah, yang berjumlah sekitar seribu orang. Ia bertemu dengan Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu di dekat kota Karbala, sebuah kota di Irak yang terletak di tepi sungai Furat. Ia meminta Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu untuk mengikuti perintah Yazid bin Muawiyah, yaitu untuk kembali ke Madinah atau untuk menyerahkan diri ke Kufah.
Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu menolak untuk mengikuti perintah Yazid bin Muawiyah, karena ia menganggap bahwa itu adalah penghinaan dan pengkhianatan terhadap agama dan umat. Ia juga menolak untuk menyerahkan diri ke Kufah, karena ia menganggap bahwa itu adalah jebakan dan bahaya yang besar. Ia menawarkan tiga pilihan kepada Hurr bin Yazid Ar-Riyahi, yaitu untuk membiarkan ia melanjutkan perjalanan ke Kufah, atau untuk membiarkan ia kembali ke Makkah, atau untuk membiarkan ia pergi ke mana saja yang ia inginkan.
Hurr bin Yazid Ar-Riyahi tidak bisa menerima tiga pilihan yang ditawarkan oleh Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu, karena ia takut dengan kemarahan dan hukuman dari Yazid bin Muawiyah. Ia juga tidak bisa menyerang atau menangkap Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu, karena ia menghormati dan mencintai ia sebagai cucu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia akhirnya memutuskan untuk mengawal dan mengawasi Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu, sampai ia mendapat perintah lebih lanjut dari Yazid bin Muawiyah.
Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu terpaksa berhenti dan berkemah di Karbala, karena ia tidak bisa melanjutkan perjalanan ke Kufah atau kembali ke Makkah. Ia tiba di Karbala pada tanggal 2 Muharram tahun 61 Hijriyah, bersama dengan keluarga dan pengikutnya, yang berjumlah sekitar seratus orang. Ia memilih tempat yang dekat dengan sungai Furat, agar ia bisa mendapatkan air yang cukup untuk minum dan mandi. Ia juga mempersiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan terburuk, yaitu pertempuran dan syahid.
Di Kufah, penduduk yang sebelumnya mendukung dan meminta Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu datang, berubah menjadi musuh dan pengkhianat. Mereka dipengaruhi dan diancam oleh Ubaidillah bin Ziyad, yang merupakan gubernur Kufah yang diutus oleh Yazid bin Muawiyah. Mereka meninggalkan dan membatalkan janji mereka kepada Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu. Mereka bahkan membunuh dan menangkap utusan-utusan yang dikirim oleh Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu, termasuk Muslim bin Aqil, yang merupakan sepupu dan wakil Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu di Kufah. Mereka juga bersiap untuk berperang melawan Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu, dengan mengirim pasukan yang besar dan kuat.
Pasukan yang dikirim oleh Ubaidillah bin Ziyad berjumlah sekitar empat puluh ribu orang, yang dipimpin oleh Umar bin Sa’ad. Umar bin Sa’ad adalah seorang panglima yang tidak rela untuk berperang melawan Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu, karena ia menyadari bahwa itu adalah dosa dan kezaliman. Namun, ia tergiur dengan janji dan iming-iming dari Ubaidillah bin Ziyad, yaitu untuk mendapatkan jabatan dan kekayaan. Ia akhirnya menyetujui untuk berperang melawan Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu, dengan syarat bahwa ia tidak akan memulai serangan terlebih dahulu.
Pasukan yang dipimpin oleh Umar bin Sa’ad tiba di Karbala pada tanggal 3 Muharram tahun 61 Hijriyah, dan berkemah di seberang sungai Furat, berhadapan dengan kemah Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu. Mereka mulai melakukan tindakan-tindakan yang provokatif dan bermusuhan, seperti memotong akses air, menembakkan panah, dan menghina dan mengancam Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu dan pengikutnya. Mereka juga menunggu perintah dari Ubaidillah bin Ziyad, untuk menyerang dan membunuh Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu dan pengikutnya.
Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu tetap bersikap tenang dan sabar, meskipun ia menghadapi situasi yang sangat sulit dan berbahaya. Ia tetap berpegang pada agama dan kebenaran, meskipun ia menghadapi musuh yang sangat banyak dan kejam. Ia tetap berusaha untuk menghindari pertumpahan darah dan kerusakan, meskipun ia menghadapi ancaman yang sangat nyata dan mendesak. Ia tetap berharap pada rahmat dan pertolongan Allah, meskipun ia menghadapi ujian yang sangat berat dan menyakitkan.
Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu berusaha untuk menyelesaikan masalah dengan cara damai dan bijak. Ia mengirim utusan-utusan kepada Umar bin Sa’ad, untuk menawarkan perdamaian dan kompromi. Ia mengulangi tiga pilihan yang ia tawarkan kepada Hurr bin Yazid Ar-Riyahi, yaitu untuk membiarkan ia melanjutkan perjalanan ke Kufah, atau untuk membiarkan ia kembali ke Makkah, atau untuk membiarkan ia pergi ke mana saja yang ia inginkan. Ia juga menawarkan untuk menghadap langsung kepada Yazid bin Muawiyah, untuk membicarakan dan menyelesaikan masalah secara adil dan baik.
Umar bin Sa’ad tidak bisa menerima tawaran-tawaran yang diberikan oleh Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu, karena ia terikat dengan perintah dan janji dari Ubaidillah bin Ziyad. Ia juga tidak bisa menolak atau mengabaikan perintah dan janji dari Ubaidillah bin Ziyad, karena ia takut dengan kemarahan dan hukuman dari Yazid bin Muawiyah. Ia akhirnya memutuskan untuk menyerang dan membunuh Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu dan pengikutnya, dengan mengorbankan agama dan akhiratnya.
Pertempuran antara pasukan Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu dan pasukan Yazid bin Muawiyah terjadi pada tanggal 10 Muharram tahun 61 Hijriyah, yang dikenal sebagai hari Asyura. Pertempuran itu berlangsung sejak pagi hingga sore hari, dengan sangat sengit dan tragis. Pasukan Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu berjumlah sekitar seratus orang, yang terdiri dari keluarga, kerabat, dan sahabat dekat Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu. Mereka berperang dengan gagah berani, sabar, dan ikhlas, meskipun mereka menghadapi musuh yang sangat banyak, kuat, dan kejam. Mereka berjuang dengan mengandalkan iman, cinta, dan pengorbanan, meskipun mereka mengalami dahaga, lapar, dan luka. Mereka berani menghadapi maut, dengan mengharapkan syahid, ampunan, dan surga.
Satu per satu, pengikut Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu gugur di medan perang Karbala, dengan meninggalkan kisah dan kenangan yang heroik dan menginspirasi. Di antara mereka ada Ali Akbar, putra sulung Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu, yang memiliki wajah dan suara yang mirip dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia gugur setelah ditusuk oleh seorang musuh yang bernama Murrah bin Munqidh. Di antara mereka ada Abbas bin Ali, saudara se-ayah Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu, yang memiliki keberanian dan kesetiaan yang luar biasa. Ia gugur setelah kedua tangannya dipotong oleh seorang musuh yang bernama Hakim bin Tufail. Di antara mereka ada Ali Asghar, putra bungsu Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu, yang masih bayi dan belum bisa bicara. Ia gugur setelah dilempari panah oleh seorang musuh yang bernama Hurmala bin Kahil.
Akhirnya, hanya Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu yang tersisa di medan perang Karbala, setelah semua pengikutnya gugur sebagai syahid. Ia berdiri sendirian, dengan tubuh yang penuh dengan luka dan darah, dengan pedang yang sudah bengkok dan tumpul, dengan hati yang penuh dengan kesedihan dan kepedihan. Ia menghadapi pasukan musuh yang masih berjumlah ribuan, dengan mata yang penuh dengan kebencian dan kekejaman, dengan senjata yang masih tajam dan mengkilap, dengan niat yang penuh dengan dosa dan kezaliman.
Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu tidak menyerah dan tidak putus asa, meskipun ia menghadapi situasi yang sangat tidak adil dan tidak manusiawi. Ia tetap berpegang pada agama dan kebenaran, meskipun ia menghadapi musuh yang sangat zalim dan biadab. Ia tetap berusaha untuk mengajak musuh untuk bertaubat dan kembali ke jalan yang lurus, meskipun ia menghadapi hinaan dan ejekan dari musuh. Ia tetap berharap pada rahmat dan pertolongan Allah, meskipun ia menghadapi ujian yang sangat berat dan menyakitkan.
Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu mengucapkan salam terakhir kepada keluarga dan pengikutnya yang masih hidup, yang berada di dalam kemah. Ia meminta maaf dan memohon doa dari mereka. Ia juga memberikan wasiat dan nasihat kepada mereka. Ia juga memeluk dan mencium putrinya yang bernama Sakinah, yang sangat mencintai dan menyayangi ia. Ia juga memohon kepada Allah untuk melindungi dan menyelamatkan mereka.
Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu kemudian mengambil pedangnya dan menunggangi kudanya, untuk menghadapi pasukan musuh yang mengepung ia. Ia berteriak dengan suara yang lantang dan tegas, “Wahai sekalian manusia, dengarkanlah perkataanku dan jangan terburu-buru, agar aku dapat memberikan alasan atas apa yang aku lakukan, dan agar kalian mengetahui garis keturunanku, sehingga jika kalian menerima alasan-alasanku, kalian akan berhenti membunuhku karena benci, dan jika kalian menolak alasan-alasanku, kalian akan membunuhku karena kebodohan. Sesungguhnya aku adalah Husain bin Ali, cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku tidak datang ke sini dengan keinginanku, melainkan aku dipanggil oleh penduduk kota ini, yang mengirim surat-surat kepada ku, bahwa mereka tidak memiliki imam, dan bahwa mereka menginginkan aku untuk mengajarkan mereka kitab Allah dan sunnah RasulNya. Jika kalian masih mengakui dan menghormati hak-hakku, maka aku akan pergi ke tempat yang lebih baik. Dan jika kalian tidak mengakui dan menghormati hak-hakku, maka bersumpahlah dengan nama Allah, apakah kalian pantas untuk memerintah atas kami, dan apakah kalian lebih berhak untuk menjadi pemimpin daripada kami?”
Pasukan musuh tidak menghiraukan dan tidak menghargai perkataan Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu. Mereka malah menyerang dan mengejar Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu, dengan mengeluarkan teriakan dan makian. Mereka melemparkan panah, tombak, dan batu kepada Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu, dengan mengenai tubuh, wajah, dan leher Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu. Mereka juga memotong tali kendali kuda Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu, sehingga kuda itu berlari meninggalkan Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu.
Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu terjatuh dari kudanya, dengan kondisi yang sangat lemah dan luka. Ia berbaring di tanah, dengan menghadap ke langit. Ia mengangkat tangannya, dengan berdoa kepada Allah. Ia berkata, “Ya Allah, Engkau adalah Tuhan yang Maha Mengetahui, Maha Melihat, dan Maha Mendengar. Engkau mengetahui bahwa mereka membunuh seorang yang tidak ada di bumi yang lebih dekat dengan Rasul-Mu daripada ia. Ya Allah, terimalah pengorbananku, dan jadikanlah ia sebagai sebab untuk keselamatan umatku.”
Pasukan musuh mendekati Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu, dengan berniat untuk membunuh ia. Mereka berebut dan bertengkar, untuk mendapatkan kehormatan dan pahala dari Yazid bin Muawiyah. Mereka saling menuduh dan menyalahkan, untuk menghindari dosa dan siksa. Mereka akhirnya sepakat untuk memilih seorang yang bernama Syimr bin Dzil Jaushan, yang merupakan salah satu orang yang paling jahat dan keji.
Syimr bin Dzil Jaushan mendekati Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu, dengan membawa pedang yang besar dan tajam. Ia duduk di atas dada Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu, dengan menekan dan menyakiti Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu. Ia mengangkat pedangnya, dengan mengarahkan ke leher Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu. Ia memotong leher Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu, dengan mengeluarkan darah yang banyak dan merah. Ia mengangkat kepala Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu, dengan menunjukkan kepada pasukan musuh. Ia berkata, “Aku telah membunuh putra Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berilah aku hadiah dan pujian.”
Dengan demikian, Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu gugur sebagai syahid di medan perang Karbala, pada usia 57 tahun.
Setelah membunuh Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu, pasukan musuh tidak berhenti berbuat keji dan biadab. Mereka melanjutkan pembantaian dan penyiksaan terhadap keluarga dan pengikut Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu yang masih hidup, yang berada di dalam kemah. Mereka membunuh anak-anak, wanita, dan orang-orang yang tidak berdaya. Mereka menjarah harta benda, pakaian, dan perhiasan. Mereka membakar kemah-kemah, tenda-tenda, dan barang-barang. Mereka menghina dan menghujat Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu dan Ahlul Bait.
Di antara korban yang dibunuh oleh pasukan musuh adalah Abdullah bin Hasan, putra dari Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhu, yang berusia sekitar sepuluh tahun. Ia dibunuh oleh seorang musuh yang bernama Amr bin Sa’ad, yang merupakan anak dari Umar bin Sa’ad. Ia dibunuh ketika ia mencoba melindungi bibinya, Zainab binti Ali radhiyallahu ‘anha, dari serangan musuh. Ia dibunuh dengan cara yang sangat kejam, yaitu dengan dipenggal kepalanya.
Di antara korban yang disiksa oleh pasukan musuh adalah Ali bin Husain, putra dari Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu, yang berusia sekitar dua puluh tahun. Ia disiksa dengan cara yang sangat sadis, yaitu dengan dipukuli, dicambuk, dan ditusuk. Ia disiksa karena ia menolak untuk mengakui Yazid bin Muawiyah sebagai khalifah, dan karena ia menegaskan bahwa ia adalah imam dan pemimpin Ahlul Bait. Ia disiksa sampai ia pingsan dan hampir mati.
Pasukan musuh kemudian mengumpulkan kepala-kepala dari Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu dan pengikutnya, dan mengikatnya di ujung tombak. Mereka mengangkat dan memamerkan kepala-kepala itu, dengan menunjukkan kepada semua orang. Mereka juga membawa kepala-kepala itu, bersama dengan tawanan-tawanan dari keluarga dan pengikut Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu, ke Kufah dan Damaskus. Mereka membawa kepala-kepala itu, untuk diserahkan kepada Ubaidillah bin Ziyad dan Yazid bin Muawiyah, sebagai bukti dan hadiah.
Dengan demikian, terjadilah tragedi Karbala, yang merupakan salah satu tragedi terbesar dalam sejarah Islam. Tragedi Karbala adalah tragedi yang menyedihkan dan mengharukan, yang menunjukkan betapa jahat dan biadabnya musuh-musuh Islam. Tragedi Karbala juga adalah tragedi yang mengagumkan dan menginspirasi, yang menunjukkan betapa mulia dan syahidnya Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu dan pengikutnya. Tragedi Karbala juga adalah tragedi yang berdampak dan bermakna, yang menunjukkan betapa penting dan berharganya agama dan kebenaran.
Bagaimana kita menghormati dan meneladani Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu?
Kisah hidup Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu, terutama kisah syahidnya di Karbala, adalah kisah yang tidak boleh kita lupakan dan abaikan. Kisah itu adalah kisah yang harus kita kenal dan sebarkan, agar kita tidak termasuk dalam orang-orang yang lalai dan bodoh. Kisah itu adalah kisah yang harus kita hormati dan teladani, agar kita tidak termasuk dalam orang-orang yang zalim dan biadab. Kisah itu adalah kisah yang harus kita ambil pelajaran dan inspirasi, agar kita tidak termasuk dalam orang-orang yang sesat dan rugi.
Berikut adalah beberapa cara untuk menghormati dan meneladani Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu:
- Mengenal dan menyebarkan kisah hidupnya. Kita harus belajar dan mengajarkan kisah hidup Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu, dengan menggunakan sumbersumber yang valid dan autentik. Kita harus menghindari dan menjauhi sumbersumber yang palsu dan tidak jelas. Kita harus menyampaikan kisah hidup Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu, dengan menggunakan bahasa yang jujur dan adil. Kita harus menghindari dan menjauhi bahasa yang berlebihan dan menyesatkan.
- Mengikuti sunnah dan ajarannya. Kita harus mencontoh dan mengamalkan sunnah dan ajaran Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu, yang sesuai dengan AlQur’an dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita harus menghindari dan menjauhi bid’ah dan kesyirikan, yang bertentangan dengan AlQur’an dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita harus meneladani sifatsifat Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu, seperti taat, zuhud, berilmu, berakhlak, berani, adil, dan berwibawa. Kita harus menghindari dan menjauhi sifatsifat musuhmusuh Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu, seperti fasik, zalim, sombong, dan suka berbuat maksiat.
- Menegakkan kebenaran dan keadilan. Kita harus berjuang dan berkorban untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, seperti yang dilakukan oleh Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu. Kita harus berani dan sabar menghadapi fitnah dan ujian, seperti yang dihadapi oleh Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu. Kita harus berpegang pada agama dan kebenaran, seperti yang dipertahankan oleh Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu. Kita harus berharap pada rahmat dan pertolongan Allah, seperti yang diharapkan oleh Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu.
- Dengan menghormati dan meneladani Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu, kita akan mendapatkan keberkahan dan kebaikan dari Allah. Kita akan mendapatkan cinta dan ridha dari Allah dan Rasul-Nya. Kita akan mendapatkan syafaat dan syahid dari Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu. Kita akan mendapatkan kebahagiaan dan kesuksesan di dunia dan akhirat. Aamiin.
Baca Juga: Kisah Hidup Ali bin Abi thalib radhiyallahu ‘anhu
Kesimpulan
Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu adalah salah satu tokoh Islam yang paling terkenal dan disegani. Ia adalah cucu dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, putra dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dan Fatimah binti Muhammad radhiyallahu ‘anha, dan saudara dari Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhu. Ia juga adalah pemimpin dari Ahlul Bait, yaitu keluarga Nabi yang terdiri dari para keturunan dan kerabatnya.
Kisah hidup Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu adalah kisah yang penuh dengan keberanian, kesabaran, pengorbanan, dan cinta kepada Allah dan RasulNya. Ia adalah seorang yang taat, zuhud, berilmu, dan berakhlak mulia. Ia juga adalah seorang yang berani, adil, dan berwibawa.
Ia memiliki peran dan kedudukan yang tinggi dalam Islam, baik sebagai seorang sahabat, imam, syahid, maupun pemimpin.
Kisah hidup Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu juga adalah kisah yang menyedihkan dan mengharukan. Ia menghadapi berbagai fitnah dan ujian yang sangat berat, terutama pada akhir hayatnya. Ia harus menghadapi pemberontakan, pengkhianatan, dan kezaliman dari sebagian umat Islam yang menyimpang dari jalan yang benar. Ia harus mengorbankan dirinya, keluarganya, dan pengikutnya di medan perang Karbala, yang menjadi salah satu tragedi terbesar dalam sejarah Islam.
Kisah hidup Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu juga adalah kisah yang mengagumkan dan menginspirasi. Ia menunjukkan contoh yang luar biasa tentang keberanian, kesabaran, pengorbanan, dan cinta kepada Allah dan RasulNya. Ia menunjukkan teladan yang mulia tentang taat, zuhud, berilmu, dan berakhlak. Ia menunjukkan sikap yang terpuji tentang menegakkan kebenaran dan keadilan.
Oleh karena itu, kita harus menghormati dan meneladani Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu, dengan mengenal dan menyebarkan kisah hidupnya, dengan mengikuti sunnah dan ajarannya, dan dengan menegakkan kebenaran dan keadilan. Dengan demikian, kita akan mendapatkan keberkahan dan kebaikan dari Allah, dan kita akan mendapatkan cinta dan ridha dari Allah dan RasulNya.
FAQ
Q: Siapa yang membunuh Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu?
A: Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu dibunuh oleh Syimr bin Dzil Jaushan, yang merupakan salah satu panglima dari pasukan Yazid bin Muawiyah.
Q: Kapan dan di mana Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu gugur sebagai syahid?
A: Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu gugur sebagai syahid pada tanggal 10 Muharram tahun 61 Hijriyah, di medan perang Karbala, sebuah kota di Irak yang terletak di tepi sungai Furat.
Q: Apa yang menyebabkan Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu menuju Kufah?
A: Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu menuju Kufah karena ia dipanggil dan diminta oleh penduduk Kufah, yang menginginkan ia sebagai pemimpin dan imam mereka. Mereka juga menjanjikan bahwa mereka akan mendukung dan membela ia, jika ia bersedia datang ke Kufah.
Q: Apa yang dilakukan oleh pasukan musuh setelah membunuh Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu?
A: Pasukan musuh melakukan pembantaian dan penyiksaan terhadap keluarga dan pengikut Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu yang masih hidup, yang berada di dalam kemah. Mereka juga mengumpulkan kepalakepala dari Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu dan pengikutnya, dan mengikatnya di ujung tombak. Mereka juga membawa kepalakepala itu, bersama dengan tawanantawanan dari keluarga dan pengikut Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu, ke Kufah dan Damaskus.
Q: Bagaimana kita bisa menghormati dan meneladani Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu?
A: Kita bisa menghormati dan meneladani Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu, dengan mengenal dan menyebarkan kisah hidupnya, dengan mengikuti sunnah dan ajarannya, dan dengan menegakkan kebenaran dan keadilan.