Kisah hidup Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu

Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memiliki peran penting dalam sejarah Islam. Ia adalah penulis wahyu, gubernur Syam, pemimpin angkatan laut, dan khalifah pertama dari dinasti Umayyah. Namun, ia juga merupakan tokoh yang kontroversial, karena terlibat dalam konflik dan perselisihan dengan Ali bin Abi Thalib, khalifah keempat dan sepupu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bagaimana kisah hidup Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu? Mari kita simak bersama.

Baca Juga: Kisah hidup Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu

Latar belakang keluarga dan masa kecil Mu’awiyah

Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu lahir pada tahun 602 Masehi di Mekkah. Ia berasal dari keluarga Quraisy, suku yang paling berpengaruh di Arab. Ayahnya, Abu Sufyan bin Harb, adalah pemimpin Quraisy dan musuh besar Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibu Mu’awiyah, Hindun binti Utbah, juga terkenal sebagai wanita yang membenci Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pernah menggigit hati Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang gugur di perang Uhud. Mu’awiyah memiliki saudara kandung yang bernama Yazid bin Abi Sufyan dan saudara tiri yang bernama Ummu Habibah binti Abi Sufyan, yang kemudian menjadi istri Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Mu’awiyah tumbuh sebagai anak yang cerdas, berani, dan pandai berbicara. Ia juga memiliki bakat dalam menulis, membaca, dan menghafal. Ia belajar menulis dari seorang budak yang dibebaskan oleh ayahnya, yang bernama Ziyad bin Labid. Ia juga belajar membaca dan menghafal Al-Qur’an dari seorang sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Abdullah bin Abi Bakr.

Hubungannya dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam

Mu’awiyah tidak pernah bertemu dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam secara langsung sebelum masuk Islam. Ia hanya mendengar tentang dakwah dan ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dari orang-orang di sekitarnya. Ia juga menyaksikan bagaimana ayahnya dan kaum Quraisy berusaha menentang dan memerangi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mu’awiyah sendiri tidak pernah ikut berperang melawan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena ia masih terlalu muda saat itu.

Masuk Islamnya Mu’awiyah dan keluarganya

Mu’awiyah dan keluarganya masuk Islam pada tahun 630 Masehi, setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berhasil menaklukkan Mekkah tanpa perlawanan. Ayahnya, Abu Sufyan, yang awalnya enggan masuk Islam, akhirnya bersyahadat setelah mendapat ancaman dari Umar bin Khattab, sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibu Mu’awiyah, Hindun, juga masuk Islam setelah mendapat pengampunan dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mu’awiyah dan saudara-saudaranya juga mengikuti jejak orang tuanya dan memeluk Islam.

Mu’awiyah dan keluarganya kemudian pindah ke Madinah, kota yang menjadi pusat pemerintahan Islam. Di sana, mereka mendapat bimbingan dan pengajaran langsung dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mu’awiyah juga ikut berpartisipasi dalam beberapa peperangan yang dipimpin oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti perang Hunain, perang Thaif, dan perang Tabuk.

Peran dan kontribusi Mu’awiyah dalam Islam

Menjadi penulis wahyu dan sekretaris Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam

Mu’awiyah memiliki keahlian dalam menulis, yang jarang dimiliki oleh orang Arab pada masa itu. Karena itu, ia dipilih oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjadi salah satu penulis wahyu, yaitu orang yang bertugas menuliskan ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mu’awiyah juga menjadi sekretaris Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu orang yang bertugas menulis surat-surat, perjanjian-perjanjian, dan dokumen-dokumen penting yang berkaitan dengan urusan Islam.

Menjadi gubernur Syam di bawah pemerintahan Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan

Mu’awiyah bin Abi Sufyan adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memiliki kemampuan dalam bidang administrasi, militer, dan politik. Ia masuk Islam sebelum Fathu Mekkah, dan menjadi penulis wahyu dan sekretaris Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia juga menjadi panglima perang yang berhasil memimpin pasukan Muslim dalam berbagai pertempuran melawan Kekaisaran Romawi Timur.

Pada masa khalifah Umar bin Khattab, Mu’awiyah ditunjuk sebagai gubernur Syam, sebuah wilayah yang strategis dan penting bagi Islam. Ia berhasil menyatukan dan mengembangkan wilayah Syam, yang terdiri dari empat provinsi, yaitu Damaskus, Hims, Filistin, dan Yordania. Ia juga berhasil mempertahankan wilayah Syam dari serangan-serangan musuh, terutama dari Kekaisaran Romawi Timur, yang berusaha untuk merebut kembali wilayah-wilayah yang telah direbut oleh kaum Muslimin.

Pada masa khalifah Utsman bin Affan, Mu’awiyah tetap menjadi gubernur Syam, dan mendapat kepercayaan dan dukungan penuh dari khalifah. Ia juga mendapat kebebasan untuk mengatur urusan-urusan Syam, tanpa campur tangan dari pusat pemerintahan di Madinah. Ia juga mendapat hak untuk menunjuk para pejabat dan gabenor di bawahnya, serta untuk mengumpulkan dan mengelola pajak dan zakat dari rakyatnya. Ia juga mendapat izin untuk membangun dan memperkuat angkatan laut Islam, yang menjadi alat untuk menyebarluaskan dakwah dan menghadapi musuh-musuh Islam di lautan.

Mengembangkan angkatan laut dan menaklukkan wilayah-wilayah baru

Mu’awiyah memiliki visi dan ambisi untuk mengembangkan kekuatan Islam di lautan. Ia menyadari bahwa laut merupakan medan yang penting untuk menyebarluaskan dakwah dan menghadapi musuh-musuh Islam, terutama Kekaisaran Romawi Timur yang berpusat di Konstantinopel. Oleh karena itu, ia membangun armada laut yang kuat dan modern, dengan bantuan dari seorang sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Ubadah bin Shamit, yang ahli dalam ilmu pelayaran dan perkapalan.

Dengan armada laut yang dimilikinya, Mu’awiyah berhasil menaklukkan beberapa wilayah baru yang sebelumnya tidak pernah dijamah oleh kaum Muslimin, seperti Siprus, Rhodes, Kreta, dan sebagian Anatolia. Ia juga mengirimkan ekspedisi-ekspedisi laut untuk menyerang Konstantinopel, ibu kota Kekaisaran Romawi Timur, yang dianggap sebagai benteng terakhir Kristen. Meskipun belum berhasil merebut Konstantinopel, Mu’awiyah telah menunjukkan keberanian dan kegigihan yang luar biasa dalam menghadapi musuh yang tangguh.

Konflik dan perselisihan dengan Ali bin Abi Thalib

Penyebab dan latar belakang konflik

Setelah wafatnya Utsman bin Affan, khalifah ketiga, yang dibunuh oleh sekelompok pemberontak, Ali bin Abi Thalib, sepupu dan menantu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, terpilih menjadi khalifah keempat. Namun, tidak semua sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersedia berbaiat kepada Ali, termasuk Mu’awiyah. Mu’awiyah menuntut agar Ali segera menangkap dan menghukum pembunuh Utsman, yang merupakan kerabatnya. Mu’awiyah juga merasa bahwa Ali tidak memberikan perhatian yang cukup kepada wilayah Syam, yang merupakan wilayah yang ia pimpin.

Ali, di sisi lain, menganggap bahwa menyelesaikan masalah pemberontakan dan persatuan kaum Muslimin lebih penting daripada menuntut balas pembunuhan Utsman. Ia juga merasa bahwa Mu’awiyah tidak patuh dan tidak menghormati otoritasnya sebagai khalifah. Ia juga khawatir bahwa Mu’awiyah akan memanfaatkan kekacauan yang terjadi untuk merebut kekuasaan.

Perang Jamal dan Shiffin

Ketidaksepakatan antara Ali dan Mu’awiyah, serta sebagian sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain, seperti Aisyah, Talhah, dan Zubair, akhirnya memicu perang saudara yang disebut sebagai fitnah kubra (fitnah besar). Perang pertama yang terjadi adalah perang Jamal, yang berlangsung di Basrah pada tahun 656 Masehi. Perang ini melibatkan Ali dan pasukannya melawan Aisyah, Talhah, dan Zubair, yang menaiki unta sebagai lambang protes terhadap pembunuhan Utsman. Perang ini berakhir dengan kemenangan Ali dan gugurnya Talhah dan Zubair, serta penarikan diri Aisyah.

Perang kedua yang terjadi adalah perang Shiffin, yang berlangsung di dekat sungai Eufrat pada tahun 657 Masehi. Perang ini melibatkan Ali dan pasukannya melawan Mu’awiyah dan pasukannya, yang berasal dari wilayah Syam. Perang ini berlangsung sengit dan berlarut-larut, hingga akhirnya terjadi sebuah insiden yang mengubah jalannya perang. Sebagian pasukan Mu’awiyah, yang dipimpin oleh Amr bin Ash, mengikat lembaran-lembaran Al-Qur’an di ujung tombak mereka, dan mengajak pasukan Ali untuk menghentikan perang dan menyelesaikan perselisihan dengan cara musyawarah berdasarkan Al-Qur’an. Sebagian pasukan Ali, yang dipengaruhi oleh gerakan Khawarij, menyetujui usul tersebut, dan memaksa Ali untuk menghentikan perang dan melakukan perundingan.

Perjanjian damai dan akibatnya

Ali dan Mu’awiyah kemudian menunjuk dua orang utusan untuk melakukan perundingan damai, yaitu Abu Musa Al-Asy’ari dari pihak Ali, dan Amr bin Ash dari pihak Mu’awiyah. Perundingan ini berlangsung di Dumatul Jandal, sebuah kota di perbatasan antara Syam dan Irak. Namun, perundingan ini tidak menghasilkan kesepakatan yang adil dan memuaskan bagi kedua belah pihak. Abu Musa Al-Asy’ari, yang kurang cerdik dan tegas, tertipu oleh Amr bin Ash, yang licik dan cerdas. Akhirnya, Abu Musa Al-Asy’ari mengumumkan bahwa ia mencabut baiatnya kepada Ali, dan Amr bin Ash mengumumkan bahwa ia memberikan baiatnya kepada Mu’awiyah. Hal ini menyebabkan kebingungan dan kemarahan di kalangan pasukan Ali, yang merasa dikhianati oleh utusannya sendiri.

Akibat dari perjanjian damai yang gagal ini adalah semakin memburuknya hubungan antara Ali dan Mu’awiyah, serta munculnya kelompok-kelompok baru yang menentang keduanya, seperti Khawarij dan Syiah. Khawarij adalah kelompok yang menganggap Ali dan Mu’awiyah sebagai kafir, karena mereka berperang sesama Muslim dan tidak menghukum pembunuh Utsman. Mereka juga menganggap bahwa kepemimpinan Islam tidak terikat oleh garis keturunan atau kesepakatan, tetapi harus dipilih oleh umat berdasarkan kriteria takwa. Mereka juga dikenal sebagai kelompok yang radikal dan ekstrem, yang tidak segan-segan membunuh siapa saja yang tidak sepaham dengan mereka. Syiah adalah kelompok yang menganggap Ali dan keturunannya sebagai pewaris sah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mengagungkan mereka sebagai imam yang ma’shum (terjaga dari dosa dan kesalahan). Mereka juga menganggap Mu’awiyah dan dinasti Umayyah sebagai musuh dan penindas Ali dan keturunannya. Mereka juga dikenal sebagai kelompok yang fanatik dan sesat, yang menyimpang dari ajaran Islam yang murni.

Menjadi khalifah pertama dari dinasti Umayyah

Kebijakan dan sistem pemerintahannya

Setelah Ali bin Abi Thalib wafat pada tahun 661 Masehi, akibat dibunuh oleh seorang Khawarij bernama Abdurrahman bin Muljam, Mu’awiyah berhasil mendapatkan baiat dari sebagian besar wilayah Islam, kecuali wilayah Irak, yang masih setia kepada Hasan bin Ali, putra sulung Ali. Namun, Hasan bin Ali tidak berminat untuk melanjutkan konflik dengan Mu’awiyah, dan lebih memilih untuk menyerahkan jabatan khalifah kepada Mu’awiyah, dengan syarat bahwa Mu’awiyah tidak akan menunjuk penggantinya dari kalangan keluarganya, tetapi akan memilihnya dari kalangan sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mu’awiyah menyetujui syarat tersebut, dan akhirnya Hasan bin Ali berdamai dengan Mu’awiyah, dan menetap di Madinah.

Dengan demikian, Mu’awiyah menjadi khalifah tunggal yang menguasai seluruh wilayah Islam, dan memindahkan ibu kota pemerintahan dari Madinah ke Damaskus, ibu kota Syam. Mu’awiyah membangun sistem pemerintahan yang teratur dan efisien, dengan menunjuk para gabenor, hakim, dan pejabat yang kompeten dan amanah untuk mengurus berbagai urusan administrasi, keuangan, hukum, dan keamanan. Mu’awiyah juga memberikan kebebasan dan toleransi kepada rakyatnya, terutama kepada orang-orang non-Muslim, seperti orang-orang Kristen dan Yahudi, yang diperbolehkan untuk menjalankan ibadah dan hukum mereka sendiri, asalkan mereka membayar jizyah (pajak perlindungan). Mu’awiyah juga menghormati dan menghargai para sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan memberikan bantuan dan bimbingan kepada mereka.

Prestasi dan tantangan yang dihadapinya

Mu’awiyah melanjutkan kebijakan ekspansi dan penaklukan yang telah dimulai oleh para khalifah sebelumnya. Ia mengirimkan pasukan-pasukan untuk menyerang dan menundukkan wilayah-wilayah baru, seperti Afrika Utara, Anatolia, Sisilia, dan Khorasan. Ia juga terus menghadapi ancaman dari Kekaisaran Romawi Timur, yang berusaha untuk merebut kembali wilayah-wilayah yang telah direbut oleh kaum Muslimin. Ia juga menghadapi pemberontakan dan perlawanan dari beberapa kelompok, seperti Khawarij, Syiah, dan Qaramithah, yang menentang kekuasaan dan kebijakan Mu’awiyah.

Mu’awiyah berhasil mengatasi berbagai tantangan dan kesulitan yang dihadapinya dengan kebijaksanaan dan ketegasan. Ia juga berhasil menciptakan stabilitas dan kemakmuran bagi wilayah Islam, yang mencapai luas dan kekuatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ia juga berhasil membangun dan mengembangkan berbagai bidang, seperti ilmu pengetahuan, seni, budaya, pendidikan, dan peradaban. Ia juga mendukung dan mendorong para ulama, ahli fiqih, dan ahli hadits, untuk menyebarluaskan dan menjaga ajaran Islam yang murni.

Kritik dan kontroversi yang menimpanya

Meskipun Mu’awiyah memiliki banyak prestasi dan kelebihan, ia juga mendapat banyak kritik dan kontroversi dari sebagian orang, terutama dari kalangan Syiah, yang menganggapnya sebagai musuh dan penindas Ali bin Abi Thalib dan keturunannya. Beberapa kritik dan kontroversi yang ditujukan kepada Mu’awiyah antara lain adalah sebagai berikut:

  • Ia dianggap sebagai penyebab fitnah dan perpecahan di kalangan umat Islam, karena tidak mau berbaiat kepada Ali bin Abi Thalib, dan terlibat dalam perang saudara dengan beliau.
  • Ia dianggap sebagai pelanggar perjanjian damai dengan Hasan bin Ali, karena menunjuk putranya, Yazid, sebagai penggantinya, padahal ia telah berjanji untuk memilih khalifah dari kalangan sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  • Ia dianggap sebagai penguasa yang zalim dan sewenang-wenang, karena memerintah dengan cara monarki dan nepotisme, serta menindas dan membunuh para lawan dan penentangnya, seperti Hujr bin Adi, Abdullah bin Zubair, dan Husain bin Ali.
  • Ia dianggap sebagai penyimpang dan pendusta, karena mengubah dan menambah beberapa hal dalam agama Islam, seperti mengubah arah shalat, menambah adzan, dan mengklaim bahwa ia mendapat wahyu dari Allah.

Wafatnya Mu’awiyah dan warisannya

Penyakit dan kematian Mu’awiyah

Mu’awiyah wafat pada tahun 680 Masehi, pada usia 78 tahun, di Damaskus. Ia menderita penyakit batu ginjal, yang menyebabkan ia kesakitan dan tidak bisa makan dan minum. Sebelum wafat, ia berwasiat kepada putranya, Yazid, agar mengurus urusan kaum Muslimin dengan baik, dan menjaga hak dan martabat mereka. Ia juga berpesan agar Yazid berbaik-baik dengan Husain bin Ali, dan tidak memaksanya untuk berbaiat kepadanya. Ia juga meminta maaf kepada Allah atas segala kesalahan dan dosa yang telah ia lakukan. Ia dimakamkan di Damaskus, di dekat masjid Jami’ yang ia bangun.

Pesan dan nasihatnya kepada putranya, Yazid

Mu’awiyah meninggalkan beberapa pesan dan nasihat kepada putranya, Yazid, yang menjadi khalifah setelahnya. Beberapa pesan dan nasihat tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

  • Jangan pernah berperang dengan Husain bin Ali, karena ia adalah cucu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan orang yang paling dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Jika ia menolak untuk berbaiat kepadamu, biarkanlah ia, dan jangan ganggu ia. Jika ia mau berdamai denganmu, terimalah ia, dan berilah ia apa yang ia minta. Jika ia mau berangkat ke suatu tempat, izinkanlah ia, dan jangan halangi ia.
  • Jangan pernah mengusir Abdullah bin Umar dari Madinah, karena ia adalah putra Umar bin Khattab, khalifah kedua, dan orang yang paling alim dan wara’ di kalangan sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika ia mau berbaiat kepadamu, syukurilah ia, dan jangan sia-siakan ia. Jika ia tidak mau berbaiat kepadamu, hormatilah ia, dan jangan paksa ia.
  • Jangan pernah membunuh Abdullah bin Zubair, karena ia adalah putra Zubair bin Awwam, salah seorang dari sepuluh orang yang dijamin masuk surga, dan cucu Abu Bakr Ash-Shiddiq, khalifah pertama. Jika ia mau berbaiat kepadamu, terimalah ia, dan jangan khianati ia. Jika ia tidak mau berbaiat kepadamu, biarkanlah ia, dan jangan bunuh ia.
  • Jangan pernah menghina dan mencela para sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena mereka adalah orang-orang yang terbaik dan terpilih dari umat ini, dan mereka adalah orang-orang yang telah membantu dan mendukung Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hormatilah mereka, dan ikutilah teladan mereka. Jangan dengarkan orang-orang yang menghasutmu untuk membenci dan menentang mereka.

Pandangan ulama dan sejarawan tentang Mu’awiyah

Mu’awiyah adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memiliki peran penting dalam sejarah Islam. Ia adalah penulis wahyu, gubernur Syam, pemimpin angkatan laut, dan khalifah pertama dari dinasti Umayyah. Namun, ia juga merupakan tokoh yang kontroversial, karena terlibat dalam konflik dan perselisihan dengan Ali bin Abi Thalib, khalifah keempat dan sepupu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bagaimana pandangan ulama dan sejarawan tentang Mu’awiyah?

Secara umum, ulama dan sejarawan Sunni memberikan pandangan yang positif dan adil terhadap Mu’awiyah. Mereka mengakui keutamaan dan kelebihan Mu’awiyah sebagai sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang telah berjasa dalam menyebarkan dan mempertahankan Islam. Mereka juga memahami bahwa konflik dan perselisihan antara Mu’awiyah dan Ali adalah karena perbedaan ijtihad dan pendapat, bukan karena niat jahat atau kebencian. Mereka juga menghormati dan menghargai kedua belah pihak, dan tidak mengkafirkan atau mencaci maki salah satu dari mereka. Mereka juga mengikuti nasihat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang bersabda, “Janganlah kalian mencela sahabatku, karena demi Allah, seandainya salah seorang di antara kalian menginfakkan emas sebanyak gunung Uhud, niscaya ia tidak akan menyamai mud (sekitar 750 gram) atau setengah mud dari salah seorang di antara mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Di sisi lain, ulama dan sejarawan Syiah memberikan pandangan yang negatif dan tidak adil terhadap Mu’awiyah. Mereka menganggap Mu’awiyah sebagai musuh dan penindas Ali bin Abi Thalib dan keturunannya. Mereka juga menganggap Mu’awiyah sebagai penyebab fitnah dan perpecahan di kalangan umat Islam, dan sebagai penguasa yang zalim dan sewenang-wenang. Mereka juga menghina dan mencela Mu’awiyah dengan berbagai julukan buruk, seperti thaghut (berhala), fasiq (berdosa), kafir (kafir), dan lain-lain. Mereka juga mengabaikan dan menolak hadits-hadits yang menceritakan keutamaan dan kelebihan Mu’awiyah, dan hanya mengambil hadits-hadits yang sesuai dengan kepentingan dan doktrin mereka.

Baca Juga: Kisah hidup Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhu

Kesimpulan

Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memiliki peran penting dalam sejarah Islam. Ia adalah penulis wahyu, gubernur Syam, pemimpin angkatan laut, dan khalifah pertama dari dinasti Umayyah. Ia memiliki banyak prestasi dan kelebihan, tetapi juga mendapat banyak kritik dan kontroversi. Pandangan ulama dan sejarawan tentang Mu’awiyah berbeda-beda, tergantung dari sudut pandang dan metodologi mereka. Namun, sebagai seorang Muslim yang berpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah, kita harus bersikap adil dan objektif terhadap Mu’awiyah, dan tidak terpengaruh oleh prasangka dan propaganda. Kita harus mengambil pelajaran dan hikmah dari kisah hidup Mu’awiyah, dan menghormati dan menghargai semua sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang merupakan generasi terbaik dari umat ini.

Pertanyaan dan Jawaban

Q: Kapan dan di mana Mu’awiyah dilahirkan dan meninggal?

A: Mu’awiyah lahir di Mekkah pada tahun 602 Masehi, dan meninggal di Damaskus pada tahun 680 Masehi.

Q: Siapa nama orang tua Mu’awiyah?

A: Ayah Mu’awiyah adalah Abu Sufyan bin Harb, dan ibu Mu’awiyah adalah Hindun binti Utbah.

Q: Kapan Mu’awiyah memeluk Islam dan siapa yang mengajarnya?

A: Mu’awiyah masuk Islam sebelum Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam membuka Mekkah, tetapi ia menyembunyikan keislamannya dari ayahnya. Ia mendapat ilmu dan bimbingan langsung dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Q: Apa saja peran dan sumbangsih Mu’awiyah dalam Islam?

A: Mu’awiyah berperan dan berkontribusi dalam bidang penulisan wahyu, pemerintahan, militer, dan peradaban. Ia menjadi penulis wahyu dan sekretaris Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, gubernur Syam, pemimpin angkatan laut, dan khalifah pertama dari dinasti Umayyah.

Getting Info...

About the Author

The best of humanity is the one who is most beneficial to others. When someone has passed away, their deeds are severed except for three things: ongoing charity (Sadaqah Jariyah), beneficial knowledge, and a righteous child who prays for their paren…

Post a Comment

Cookie Consent
We serve cookies on this site to analyze traffic, remember your preferences, and optimize your experience.
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.
Site is Blocked
Sorry! This site is not available in your country.