Yazid bin Abdul Malik adalah khalifah kesepuluh dari Daulah Umayyah yang berkuasa pada tahun 720-724 M. Ia adalah khalifah yang berasal dari Bani Umayyah dari pihak ayah dan ibu, dan termasuk anggota cabang Marwani. Ia dikenal sebagai khalifah yang aktif dalam urusan militer, baik dalam menumpas pemberontakan maupun melawan musuh luar. Namun, ia juga dikenal sebagai khalifah yang membatalkan sebagian besar pembaharuan yang dilakukan oleh pendahulunya, Umar bin Abdul Aziz, dan mengembalikan hak-hak istimewa Bani Umayyah. Dalam artikel ini, kita akan membahas tentang kehidupan dan pemerintahan Yazid bin Abdul Malik, serta warisan yang ia tinggalkan bagi Daulah Umayyah dan dunia Islam.
Baca Juga: Kisah hidup Umar bin Abdul Aziz
Awal kehidupan Yazid bin Abdul Malik
Yazid bin Abdul Malik lahir pada tahun 687 M di Damaskus, ibu kota Daulah Umayyah. Ayahnya adalah Abdul Malik bin Marwan, khalifah kelima dari Daulah Umayyah, dan ibunya adalah Atikah binti Yazid, putri dari Yazid bin Muawiyah, khalifah kedua dari Daulah Umayyah. Dengan demikian, Yazid merupakan cucu dari dua khalifah Umayyah, dan nama Yazid diambil dari nama kakeknya dari pihak ibu.
Yazid mendapatkan pendidikan yang baik dari ayahnya dan para ulama yang ada di istana. Ia belajar tentang agama Islam, bahasa Arab, sastra, sejarah, dan ilmu-ilmu lainnya. Ia juga belajar tentang seni perang dan politik dari ayahnya dan pamannya, yang merupakan panglima-panglima dan gubernur-gubernur Umayyah.
Sebelum menjadi khalifah, Yazid ditunjuk oleh ayahnya sebagai gubernur Amman di Jund Dimasyq, salah satu provinsi militer Umayyah. Ia menunjukkan kinerja yang baik sebagai gubernur, dan mendapatkan kepercayaan dari ayahnya. Pada akhir masa pemerintahan kakak tirinya, Sulaiman bin Abdul Malik, Yazid ditunjuk sebagai wakil putra mahkota, setelah Umar bin Abdul Aziz ditunjuk sebagai putra mahkota. Saat Umar menjadi khalifah, Yazid menjadi putra mahkota.
Khalifah
Setelah Umar bin Abdul Aziz mangkat karena diracun oleh budaknya pada tahun 720 M, Yazid menjadi khalifah dan memegang kendali negara. Pada awalnya, Yazid berusaha menjaga pembaharuan yang dilakukan oleh Umar, seperti menghapus pajak-pajak yang tidak adil, menegakkan keadilan, dan menyebarkan dakwah. Namun, hal ini tidak berlangsung lama, karena Yazid mendapatkan tekanan dari keluarga besar Bani Umayyah, yang merasa dirugikan oleh kebijakan Umar. Mereka mengutus 40 ulama untuk membujuk Yazid agar mengembalikan hak-hak istimewa Bani Umayyah, dan memberikan kesaksian bahwa apapun yang khalifah lakukan tidak akan dimintai pertanggungjawaban dan tidak pula dihukum. Yazid pun terpengaruh dan mulai membatalkan kebijakan Umar satu demi satu.
Yazid juga mengganti sebagian besar gubernur-gubernur yang ditunjuk oleh Umar, dan mengangkat saudara-saudara dan kerabatnya sebagai gubernur di berbagai wilayah. Ia juga menaikkan gaji para pejabat dan tentara, dan mengeluarkan biaya yang besar untuk membangun istana-istana dan masjid-masjid. Ia juga menghidupkan kembali tradisi-tradisi Bani Umayyah, seperti mengadakan pesta-pesta, berburu, dan mendengarkan musik.
Selain itu, Yazid juga sangat aktif dalam urusan militer, baik dalam menumpas pemberontakan maupun melawan musuh luar. Ia mengirim pasukan-pasukan ke berbagai daerah, dan memimpin beberapa perang secara langsung. Ia juga memperkuat pertahanan dan perbatasan Daulah Umayyah, dan membangun benteng-benteng dan jalan-jalan.
Pemberontakan
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh Yazid adalah pemberontakan yang terjadi di beberapa wilayah Daulah Umayyah. Pemberontakan-pemberontakan ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti ketidakpuasan terhadap pemerintah, perbedaan pendapat dalam masalah agama, dan pengaruh asing. Beberapa pemberontakan yang terkenal adalah sebagai berikut:
- Pemberontakan Yazid bin Muhallib: Yazid bin Muhallib adalah seorang panglima dan gubernur Umayyah yang pernah menjabat di Khurasan, Irak, dan Iran. Ia adalah putra dari Muhallib bin Abi Shafra, seorang penakluk lembah Hind. Ia dikenal sebagai seorang yang berani, cerdas, dan ambisius. Ia juga memiliki banyak pengikut dan pendukung di wilayah-wilayah yang pernah ia pimpin. Namun, ia juga dikenal sebagai seorang yang suka memberontak dan tidak taat kepada khalifah. Ia pernah melakukan pemberontakan terhadap khalifah Walid bin Abdul Malik, tetapi kemudian berdamai dengan khalifah Sulaiman bin Abdul Malik. Ia juga pernah berselisih dengan khalifah Umar bin Abdul Aziz, yang kemudian memecatnya dari jabatannya dan memanggilnya ke Damaskus. Yazid bin Muhallib menolak panggilan itu, dan melarikan diri ke Irak. Di Irak, ia mendapatkan dukungan dari sebagian besar penduduk, terutama yang berasal dari suku-suku Arab, seperti Tamim, Rabiah, dan Bakr. Ia juga mendapatkan bantuan dari sebagian ulama dan tokoh-tokoh Irak, seperti Hasan Al-Basri, Muhammad bin Sirin, dan Ibrahim An-Nakha’i. Ia mengangkat dirinya sebagai pemimpin gerakan anti-Umayyah, dan menyerukan perubahan dan pembaharuan dalam pemerintahan. Ia mengklaim bahwa ia adalah pewaris sah dari Muhallib bin Abi Shafra, yang pernah menaklukkan lembah Hind dan membawa banyak harta dan budaya ke Daulah Umayyah. Ia juga mengklaim bahwa ia adalah keturunan dari Nabi Ismail, dan memiliki hak untuk menjadi khalifah. Ia menantang Yazid bin Abdul Malik untuk berperang, dan mengancam akan merebut Damaskus dari tangannya. Yazid bin Abdul Malik mengirim pasukan yang dipimpin oleh saudaranya, Amr bin Abdul Malik, untuk menumpas pemberontakan Yazid bin Muhallib. Pasukan Amr berjumlah sekitar 40.000 orang, dan terdiri dari tentara reguler dan sukarelawan. Pasukan Yazid bin Muhallib berjumlah sekitar 20.000 orang, dan terdiri dari penduduk Irak dan sebagian tentara Khurasan yang ikut bergabung dengan gerakannya. Pertempuran terjadi di dekat kota Kufah, dan berlangsung sengit. Pasukan Yazid bin Muhallib berjuang dengan gagah berani, tetapi kalah jumlah dan kalah persenjataan. Pasukan Amr berhasil mengalahkan pasukan Yazid bin Muhallib, dan membunuh sebagian besar dari mereka, termasuk Yazid bin Muhallib sendiri. Pasukan Amr kemudian merebut kota Kufah, dan menghukum mati para pendukung dan simpatisan Yazid bin Muhallib. Pemberontakan Yazid bin Muhallib dianggap sebagai salah satu pemberontakan terbesar yang pernah terjadi di Daulah Umayyah, dan sebagai salah satu ancaman terbesar bagi kekuasaan Yazid bin Abdul Malik.
- Pemberontakan Al-Harits bin Suraij: Al-Harits bin Suraij adalah seorang panglima dan pemimpin gerakan Khawarij di Khurasan. Ia berasal dari suku Tamim, dan dikenal sebagai seorang yang berani, saleh, dan berwibawa. Ia memimpin pemberontakan melawan pemerintah Umayyah karena ketidakpuasan terhadap perlakuan dan pajak yang tidak adil. Ia juga menentang kebijakan Yazid yang membatalkan pembaharuan Umar bin Abdul Aziz. Ia berhasil mengumpulkan banyak pengikut dan pendukung, baik dari kalangan Arab maupun non-Arab, seperti Persia, Turki, dan Daylam. Ia juga mendapatkan dukungan dari sebagian ulama dan tokoh-tokoh Khurasan, seperti Qutaibah bin Muslim, Asad bin Abdullah, dan Abu Muslim Al-Khurasani. Ia menguasai sebagian besar wilayah Khurasan, dan mengancam ibu kota Umayyah, Marw. Yazid mengirim pasukan yang dipimpin oleh saudaranya, Amr bin Abdul Malik, untuk menumpas pemberontakan Al-Harits. Namun, pasukan Umayyah mengalami kekalahan dan mundur. Yazid kemudian mengirim pasukan yang lebih besar yang dipimpin oleh saudaranya yang lain, Maslamah bin Abdul Malik. Pasukan Maslamah berhasil mengalahkan pasukan Al-Harits dalam beberapa pertempuran, dan mengepung benteng yang menjadi markas Al-Harits, yaitu Baykand. Al-Harits akhirnya tewas dalam pengepungan itu, dan pemberontakannya pun berakhir.
- Pemberontakan Khawarij: Khawarij adalah sekelompok orang yang keluar dari barisan kaum Muslimin karena tidak menerima hasil arbitrase antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan. Mereka menganggap bahwa hanya Allah yang berhak menentukan urusan umat, dan tidak mengakui kewenangan khalifah. Mereka juga mengkafirkan dan membunuh orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka, termasuk kaum Muslimin. Mereka tersebar di berbagai wilayah, seperti Irak, Iran, Hijaz, Yaman, dan Afrika Utara. Mereka sering melakukan pemberontakan dan terorisme terhadap pemerintah Umayyah. Yazid menghadapi beberapa pemberontakan Khawarij di wilayah-wilayah yang ia kuasai, seperti pemberontakan Najdah bin Amir di Hijaz, pemberontakan Syabib bin Yazid di Irak, dan pemberontakan Maysarah bin Masruk di Afrika Utara. Yazid mengirim pasukan-pasukan untuk menumpas pemberontakan-pemberontakan ini, dan berhasil mengalahkan dan membunuh para pemimpin Khawarij. Namun, gerakan Khawarij tidak sepenuhnya musnah, dan masih menjadi ancaman bagi Daulah Umayyah dan dunia Islam.
Perang melawan Bizantium
Selain menghadapi pemberontakan di dalam negeri, Yazid juga menghadapi perang melawan musuh luar, yaitu Kekaisaran Bizantium. Bizantium adalah kekaisaran yang menguasai sebagian besar wilayah Eropa Timur dan Asia Kecil, dan merupakan lawan utama Daulah Umayyah. Bizantium dan Umayyah sering terlibat perang-perang yang berkepanjangan, baik di darat maupun di laut, untuk memperebutkan wilayah-wilayah strategis, seperti Suriah, Palestina, Mesir, Anatolia, dan Afrika Utara. Beberapa perang yang terjadi antara Umayyah dan Bizantium pada masa pemerintahan Yazid adalah sebagai berikut:
- Pengepungan Konstantinopel: Konstantinopel adalah ibu kota dan benteng terkuat Bizantium, yang terletak di antara Laut Marmara dan Laut Hitam. Kota ini memiliki tembok-tembok yang kokoh, dan dilindungi oleh senjata api yang disebut dengan nama Yunani. Kota ini juga memiliki pelabuhan yang besar, dan menjadi pusat perdagangan dan kebudayaan Bizantium. Umayyah telah beberapa kali mencoba mengepung dan merebut kota ini, tetapi selalu gagal. Yazid melanjutkan usaha-usaha pendahulunya, dan mengirim pasukan yang besar yang dipimpin oleh saudaranya, Maslamah bin Abdul Malik, untuk mengepung Konstantinopel pada tahun 717 M. Pasukan Umayyah berjumlah sekitar 120.000 orang, dan didukung oleh armada laut yang berjumlah sekitar 1.800 kapal. Pasukan Umayyah berhasil mengepung kota dari darat dan laut, dan mengisolasi kota dari bantuan luar. Namun, pasukan Umayyah menghadapi banyak kesulitan dan rintangan, seperti cuaca yang buruk, penyakit, kelaparan, serangan-serangan dari pasukan Bizantium, dan pengkhianatan dari sekutu-sekutu Umayyah. Pasukan Umayyah juga tidak mampu menembus tembok-tembok kota, dan tidak bisa menghadapi senjata api Bizantium. Pengepungan berlangsung selama lebih dari satu tahun, tetapi tidak ada kemajuan yang berarti. Akhirnya, pasukan Umayyah memutuskan untuk mundur pada tahun 718 M, setelah mengalami kerugian yang besar. Pengepungan Konstantinopel dianggap sebagai salah satu kegagalan terbesar Daulah Umayyah, dan sebagai salah satu kemenangan terbesar Bizantium.
- Pertempuran Akroinon: Akroinon adalah sebuah kota yang terletak di Anatolia, wilayah Asia Kecil yang menjadi medan pertempuran antara Umayyah dan Bizantium. Kota ini berada di bawah kekuasaan Umayyah, tetapi sering diserang oleh pasukan Bizantium. Pada tahun 740 M, Kaisar Bizantium, Leo III, mengirim pasukan yang besar yang dipimpin oleh putranya, Konstantinus V, untuk menyerang Akroinon. Pasukan Bizantium berjumlah sekitar 80.000 orang, dan terdiri dari tentara reguler dan sukarelawan. Pasukan Umayyah yang berada di kota itu berjumlah sekitar 25.000 orang, dan dipimpin oleh Abdallah bin Malik Al-Khuzai, gubernur Anatolia. Pasukan Umayyah bertahan di dalam kota, dan menolak untuk keluar dan berperang di lapangan terbuka. Pasukan Bizantium mengepung kota, dan mencoba untuk menembus tembok-tembok kota dengan menggunakan mesin-mesin perang. Namun, pasukan Umayyah berhasil mempertahankan kota, dan menimbulkan kerusakan pada mesin-mesin perang Bizantium. Pasukan Bizantium kemudian mengubah strategi, dan mencoba untuk menggoda pasukan Umayyah untuk keluar dari kota dengan cara menjarah dan membakar desa-desa di sekitar kota. Strategi ini berhasil, dan pasukan Umayyah akhirnya keluar dari kota untuk menghadapi pasukan Bizantium. Pertempuran terjadi di dekat kota, dan berlangsung sengit. Pasukan Umayyah berjuang dengan gagah berani, tetapi kalah jumlah dan kalah persenjataan. Pasukan Bizantium berhasil mengalahkan pasukan Umayyah, dan membunuh sebagian besar dari mereka, termasuk Abdallah bin Malik Al-Khuzai. Pasukan Bizantium kemudian merebut kota Akroinon, dan menghancurkan tembok-tembok kota. Pertempuran Akroinon dianggap sebagai salah satu kemenangan terbesar Bizantium, dan sebagai salah satu kekalahan terbesar Umayyah.
- Pertempuran Marj Ardabil: Marj Ardabil adalah sebuah dataran yang terletak di Azerbaijan, wilayah yang berbatasan antara Umayyah dan Bizantium. Wilayah ini menjadi sasaran serangan-serangan Bizantium, yang ingin merebut kembali wilayah-wilayah yang pernah mereka kuasai. Pada tahun 730 M, Kaisar Bizantium, Leo III, mengirim pasukan yang besar yang dipimpin oleh putranya, Konstantinus V, untuk menyerang Azerbaijan. Pasukan Bizantium berjumlah sekitar 100.000 orang, dan terdiri dari tentara reguler dan sukarelawan. Pasukan Umayyah yang berada di wilayah itu berjumlah sekitar 60.000 orang, dan dipimpin oleh Maslamah bin Abdul Malik, saudara Yazid. Pasukan Umayyah bertemu dengan pasukan Bizantium di dataran Marj Ardabil, dan terjadi pertempuran yang sengit. Pasukan Umayyah berhasil mengalahkan pasukan Bizantium, dan membunuh sekitar 30.000 orang dari mereka, termasuk Konstantinus V. Pasukan Bizantium yang tersisa melarikan diri ke arah Armenia. Pertempuran Marj Ardabil dianggap sebagai salah satu kemenangan terbesar Umayyah, dan sebagai salah satu kekalahan terbesar Bizantium.
Hubungan dengan ulama dan rakyat
Yazid bin Abdul Malik memiliki hubungan yang kurang baik dengan ulama dan rakyat. Ia sering menentang dan mengabaikan pendapat dan nasihat dari ulama, terutama yang berkaitan dengan masalah agama. Ia juga tidak menghormati dan tidak memenuhi hak-hak rakyat, terutama yang berbeda agama dan etnis dengan dirinya. Beberapa contoh dari sikap dan perilaku Yazid yang menimbulkan ketidakpuasan dan kemarahan dari ulama dan rakyat adalah sebagai berikut:
- Yazid memerintahkan untuk menghancurkan semua salinan Al-Qur’an yang tidak sesuai dengan mushaf Utsmani, yang dianggap sebagai mushaf resmi oleh Daulah Umayyah. Ia juga memerintahkan untuk membakar semua tafsir Al-Qur’an yang tidak sesuai dengan pemahaman Bani Umayyah. Hal ini menimbulkan protes dan keberatan dari ulama, terutama yang berafiliasi dengan Ahlul Bait, seperti Imam Zaid bin Ali, Imam Ja’far As-Shadiq, dan Imam Muhammad Al-Baqir. Mereka menganggap bahwa tindakan Yazid adalah tindakan yang merusak dan menghapus warisan Islam.
- Yazid memerintahkan untuk menghentikan pengiriman bantuan dan zakat ke Madinah, kota yang menjadi pusat keilmuan dan keagamaan Islam. Ia juga memerintahkan untuk menaikkan pajak dan upeti dari penduduk Madinah, dan mengurangi gaji dan fasilitas para ulama dan tokoh-tokoh Madinah. Hal ini menimbulkan kemiskinan dan kesengsaraan bagi penduduk Madinah, dan mengurangi penghormatan dan pengaruh mereka di mata umat Islam.
- Yazid memerintahkan untuk meningkatkan pajak dan upeti dari penduduk non-Arab, terutama yang beragama non-Islam, seperti Yahudi, Kristen, dan Zoroaster. Ia juga memerintahkan untuk membatasi hak-hak dan kebebasan mereka, seperti hak beribadah, hak berpendidikan, dan hak berdagang. Ia juga memerintahkan untuk memaksakan bahasa Arab dan budaya Arab kepada mereka, dan menghapus bahasa dan budaya asli mereka. Hal ini menimbulkan ketidakadilan dan penindasan bagi penduduk non-Arab, dan mengurangi loyalitas dan kerjasama mereka dengan pemerintah Umayyah.
Kematian dan warisan
Yazid bin Abdul Malik meninggal pada tahun 724 M, dalam usia 37 tahun. Ia meninggal karena sakit, setelah memerintah selama empat tahun. Ia digantikan oleh saudaranya, Hisyam bin Abdul Malik, yang menjadi khalifah kesepuluh dari Daulah Umayyah. Yazid meninggalkan seorang istri, Ummu Khalid binti Yazid bin Muawiyah, dan beberapa anak, di antaranya adalah Al-Walid.
Yazid bin Abdul Malik meninggalkan warisan yang beragam bagi Daulah Umayyah dan dunia Islam. Di satu sisi, ia meninggalkan warisan yang positif, seperti kemenangan-kemenangan militer, pembangunan-pembangunan infrastruktur, dan penyebaran-penyebaran dakwah. Di sisi lain, ia meninggalkan warisan yang negatif, seperti pembatalan-pembatalan pembaharuan, peningkatan-peningkatan ketidakpuasan, dan penyemaian-penyemaian pemberontakan. Warisan yang ia tinggalkan mempengaruhi perkembangan dan nasib Daulah Umayyah dan dunia Islam di masa-masa selanjutnya.
Baca Juga: Kisah hidup Sulaiman bin Abdul Malik
Kesimpulan
Yazid bin Abdul Malik adalah khalifah kesepuluh dari Daulah Umayyah yang berkuasa pada tahun 720-724 M. Ia adalah khalifah yang berasal dari Bani Umayyah dari pihak ayah dan ibu, dan termasuk anggota cabang Marwani. Ia dikenal sebagai khalifah yang aktif dalam urusan militer, baik dalam menumpas pemberontakan maupun melawan musuh luar. Namun, ia juga dikenal sebagai khalifah yang membatalkan sebagian besar pembaharuan yang dilakukan oleh pendahulunya, Umar bin Abdul Aziz, dan mengembalikan hak-hak istimewa Bani Umayyah. Ia memiliki hubungan yang kurang baik dengan ulama dan rakyat, dan menimbulkan ketidakadilan dan penindasan bagi mereka. Ia meninggal karena sakit pada tahun 724 M, dan digantikan oleh saudaranya, Hisyam bin Abdul Malik. Ia meninggalkan warisan yang beragam bagi Daulah Umayyah dan dunia Islam, yang mempengaruhi perkembangan dan nasib mereka di masa-masa selanjutnya.
FAQ
Berikut adalah lima pertanyaan dan jawaban yang sering diajukan tentang Yazid bin Abdul Malik:
Kapan ia lahir dan dimana ia dibesarkan?
Ia lahir pada tahun 687 M di Damaskus, ibu kota Daulah Umayyah. Ia dibesarkan di istana, dan mendapatkan pendidikan yang baik dari ayahnya dan para ulama.
Siapa orang tua dan anak-anaknya?
Ayahnya adalah Abdul Malik bin Marwan, khalifah kelima dari Daulah Umayyah, dan ibunya adalah Atikah binti Yazid, putri dari Yazid bin Muawiyah, khalifah kedua dari Daulah Umayyah. Ia memiliki seorang istri, Ummu Khalid binti Yazid bin Muawiyah, dan beberapa anak, di antaranya adalah Al-Walid, yang menjadi khalifah keempat belas dari Daulah Umayyah.
Apa julukan yang ia miliki?
Ia memiliki beberapa julukan, di antaranya adalah Abu Khalid, yang diambil dari nama salah satu anaknya, dan Al-Athram, yang berarti “tak sempurna”, karena ia dianggap tidak sempurna dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai khalifah.
Apa kegagalan yang ia alami?
Ia mengalami beberapa kegagalan, di antaranya adalah gagal mengepung dan merebut Konstantinopel, ibu kota dan benteng terkuat Bizantium, yang menjadi impian dan tujuan utama Daulah Umayyah. Ia juga gagal mempertahankan dan melanjutkan pembaharuan yang dilakukan oleh Umar bin Abdul Aziz, dan malah mengembalikan hak-hak istimewa Bani Umayyah. Ia juga gagal menjaga hubungan yang baik dengan ulama dan rakyat, dan menimbulkan ketidakpuasan dan kemarahan dari mereka. Ia juga gagal mengatasi beberapa pemberontakan yang terjadi di wilayah-wilayah yang ia kuasai, seperti pemberontakan Al-Harits bin Suraij, pemberontakan Khawarij, dan pemberontakan Yazid bin Muhallib. Ia juga gagal menghadapi ancaman dari Kekhalifahan Abbasiyah, yang mulai muncul sebagai kekuatan baru di dunia Islam.