Yazid bin Mu’awiyah adalah salah satu tokoh sejarah Islam yang paling dikenal, tetapi juga paling dibenci. Ia adalah penguasa kedua dari Dinasti Umayyah, yang memerintah Kekhalifahan Islam dari tahun 680 hingga 683 M. Ia adalah putra dari Mu’awiyah bin Abu Sufyan, penguasa pertama Umayyah yang mendirikan dinasti tersebut setelah mengalahkan Ali bin Abi Thalib, sepupu dan menantu Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam.
Yazid bin Mu’awiyah menjadi terkenal karena perannya dalam beberapa peristiwa tragis yang menimpa umat Islam, seperti Peristiwa Karbala, Pengepungan Madinah, dan Pembakaran Ka’bah. Ia juga dianggap sebagai penyebab utama perpecahan umat Islam menjadi Sunni dan Syiah, yang hingga kini masih berlanjut. Ia mendapat banyak kritik dan kecaman dari sebagian besar umat Islam, terutama dari kalangan Syiah, yang menganggapnya sebagai tiran, zalim, dan fasik. Namun, ia juga memiliki beberapa pendukung dan pengagum, terutama dari kalangan Sunni, yang menghormatinya sebagai khalifah, pemimpin, dan pejuang.
Dalam artikel ini, kita akan membahas kisah hidup Yazid bin Mu’awiyah, mulai dari latar belakang keluarga dan masa kecilnya, karier militer dan politiknya, kepribadian dan gaya hidupnya, hingga akhir hayat dan warisannya. Kita juga akan mengetahui mengapa ia menjadi kontroversial, dan bagaimana pandangan berbagai mazhab dan kelompok Islam terhadapnya.
Baca Juga: Kisah hidup Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu
Siapa Yazid bin Mu’awiyah?
Yazid bin Mu’awiyah lahir pada tahun 647 M di Damaskus, Suriah, yang saat itu merupakan ibu kota Kekhalifahan Islam. Ia adalah putra sulung dari Mu’awiyah bin Abu Sufyan, yang merupakan gubernur Suriah dan pemimpin klan Banu Umayyah, salah satu klan terkemuka dari suku Quraisy. Ibunya adalah Maisun binti Bahdal, yang berasal dari suku Kalb, salah satu sekutu Banu Umayyah.
Latar belakang keluarga dan masa kecil
Yazid bin Mu’awiyah tumbuh dalam lingkungan keluarga yang kaya, berpengaruh, dan ambisius. Ayahnya, Mu’awiyah, adalah seorang politikus dan jenderal yang cerdik, yang berhasil memperluas wilayah Kekhalifahan Islam hingga ke Afrika Utara, Anatolia, dan Spanyol. Ayahnya juga merupakan sahabat Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam, meskipun ia baru masuk Islam setelah Perjanjian Hudaibiyah pada tahun 628 M. Sebelumnya, ia termasuk dalam golongan musuh Nabi, yang pernah berperang melawan beliau dalam Pertempuran Badar, Uhud, dan Khandaq.
Ibunya, Maisun, adalah seorang wanita yang cantik, cerdas, dan berbakat. Ia dikenal sebagai seorang penyair yang mahir, yang sering membuat puisi-puisi tentang cinta, keindahan, dan keberanian. Ia juga merupakan seorang wanita yang mandiri dan berani, yang tidak segan-segan menyatakan pendapatnya, bahkan kepada suaminya. Ia pernah menolak permintaan Mu’awiyah untuk pindah ke istana, karena ia lebih suka tinggal di tenda di padang pasir. Ia juga pernah mengecam Mu’awiyah karena menentang Ali bin Abi Thalib, yang merupakan khalifah keempat dan menantu Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam.
Yazid bin Mu’awiyah memiliki seorang adik laki-laki bernama Abd Allah, dan dua adik perempuan bernama Umm Kulthum dan Fatimah. Ia juga memiliki beberapa saudara tiri dari istri-istri ayahnya yang lain, seperti Yazid bin Khalid, Marwan bin Hakam, dan Abd al-Malik bin Marwan. Yazid bin Mu’awiyah mendapat pendidikan yang baik, baik dalam bidang agama, sastra, maupun militer. Ia belajar membaca dan menulis, menghafal Al-Qur’an, mempelajari hadis dan fiqih, serta meniru gaya puisi ibunya. Ia juga belajar berkuda, memanah, berperang, dan memimpin, dari ayahnya dan para panglima perang lainnya.
Karier militer dan politik
Yazid bin Mu’awiyah mulai terlibat dalam urusan militer dan politik sejak usia muda. Ia ikut serta dalam beberapa ekspedisi dan kampanye militer yang dipimpin oleh ayahnya atau oleh khalifah-khalifah sebelumnya, seperti Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Ia juga menjadi salah satu komandan pasukan Muslim dalam Pertempuran Konstantinopel, yang berlangsung dari tahun 674 hingga 678 M, melawan Kekaisaran Romawi Timur. Ia berhasil mengepung kota tersebut, tetapi tidak dapat merebutnya.
Yazid bin Mu’awiyah juga terlibat dalam konflik internal yang terjadi di antara umat Islam, yang dikenal sebagai Fitnah (Percobaan). Konflik ini dimulai setelah pembunuhan Utsman bin Affan, khalifah ketiga, oleh sekelompok pemberontak pada tahun 656 M. Hal ini menimbulkan perselisihan tentang siapa yang berhak menjadi penggantinya. Sebagian besar umat Islam mengangkat Ali bin Abi Thalib, sepupu dan menantu Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam, sebagai khalifah keempat. Namun, sebagian lainnya, termasuk Mu’awiyah, menuntut pembalasan atas pembunuhan Utsman, yang merupakan kerabat mereka dari klan Banu Umayyah. Mereka menolak mengakui Ali sebagai khalifah, dan mengangkat Mu’awiyah sebagai khalifah saingan.
Yazid bin Mu’awiyah mendukung ayahnya dalam perang melawan Ali, yang dikenal sebagai Perang Jamal dan Perang Shiffin. Dalam Perang Jamal, yang terjadi pada tahun 656 M, pasukan Mu’awiyah bertempur melawan pasukan Ali, yang didukung oleh istri Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam, Aisyah, dan dua sahabat Nabi, yaitu Thalhah dan Zubair. Perang ini berakhir dengan kemenangan Ali, tetapi juga menewaskan Aisyah, Thalhah, dan Zubair.
Dalam Perang Shiffin, yang terjadi pada tahun 657 M, pasukan Mu’awiyah kembali bertempur melawan pasukan Ali, yang kali ini lebih besar dan kuat. Perang ini berlangsung sengit, hingga akhirnya terjadi suatu kejadian yang mengubah jalannya perang. Sebagian dari pasukan Mu’awiyah mengikat Al-Qur’an di ujung tombak mereka, dan menyerukan agar perang dihentikan, dan masalah diselesaikan dengan cara musyawarah, sesuai dengan Al-Qur’an. Ali menyetujui usul ini, dan mengirim utusannya untuk berunding dengan Mu’awiyah. Namun, hasil perundingan ini tidak memuaskan kedua belah pihak, dan malah menimbulkan perpecahan di dalam pasukan Ali. Sebagian dari pasukan Ali, yang dikenal sebagai Khawarij, menganggap Ali telah berkhianat, karena mau berunding dengan Mu’awiyah, yang mereka anggap sebagai kafir. Mereka kemudian meninggalkan Ali, dan bahkan berusaha membunuhnya.
Perang antara Ali dan Mu’awiyah berlanjut hingga tahun 661 M, ketika Ali tewas dibunuh oleh seorang Khawarij bernama Abdurrahman bin Muljam, saat sedang shalat subuh di masjid Kufah, Irak. Setelah kematian Ali, putranya yang bernama Hasan bin Ali menggantikannya sebagai khalifah. Namun, Hasan tidak mampu menghadapi tekanan dan ancaman dari Mu’awiyah, yang terus menuntut agar ia turun dari jabatannya. Akhirnya, Hasan menyerahkan kekhalifahan kepada Mu’awiyah, dengan syarat bahwa Mu’awiyah tidak akan menunjuk penggantinya dari kalangan keluarganya, melainkan dari kalangan umat Islam secara umum. Mu’awiyah menyetujui syarat ini, dan Hasan pun mengundurkan diri. Dengan demikian, Mu’awiyah menjadi khalifah tunggal yang diakui oleh seluruh umat Islam, dan mendirikan Dinasti Umayyah, yang berkuasa hingga tahun 750 M.
Yazid bin Mu’awiyah menjadi putra mahkota dan pewaris tahta ayahnya, setelah Hasan bin Ali wafat pada tahun 670 M, karena diracun oleh istrinya sendiri, yang diduga atas perintah Mu’awiyah. Yazid bin Mu’awiyah menjadi penguasa kedua Umayyah, setelah ayahnya wafat pada tahun 680 M, karena sakit. Ia menghadapi tantangan dan masalah yang besar, baik dari dalam maupun dari luar kekhalifahan. Ia harus menghadapi pemberontakan dan penentangan dari sebagian umat Islam, terutama dari kalangan Ahlul Bait, yaitu keluarga Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam, dan para pengikutnya, yang dikenal sebagai Syiah. Ia juga harus menghadapi ancaman dari Kekaisaran Romawi Timur, yang ingin merebut kembali wilayah-wilayah yang telah direbut oleh Muslimin.
Kepribadian dan gaya hidup
Yazid bin Mu’awiyah memiliki kepribadian yang berbeda dengan ayahnya. Ia kurang memiliki bakat dan minat dalam bidang politik dan pemerintahan. Ia lebih suka menghabiskan waktu dengan bersenang-senang, berburu, bermain musik, dan menikmati hidup. Ia juga gemar meminum khamr (minuman keras), yang dilarang dalam Islam. Ia sering mengadakan pesta-pesta yang mewah dan hedonis, yang dihadiri oleh para penyair, musisi, penari, dan wanita-wanita cantik. Ia juga suka membuat puisi-puisi yang lucu, nakal, dan mengejek. Salah satu puisinya yang terkenal adalah:
Aku tidak pernah takut mati, karena aku tahu
Bahwa kematian adalah takdir yang pasti
Aku lebih suka mati dalam keadaan mabuk
Daripada mati dalam keadaan sadar dan bingung
Yazid bin Mu’awiyah juga memiliki sisi yang berani, gagah, dan jujur. Ia adalah seorang pejuang yang tangguh, yang tidak pernah mundur dari medan perang. Ia juga adalah seorang yang terbuka dan tidak suka berpura-pura. Ia tidak segan-segan mengakui kesalahan dan kelemahannya, dan tidak takut mengkritik dirinya sendiri dan orang lain. Ia juga tidak memaksakan pendapat dan kehendaknya kepada orang lain, dan menghormati hak dan kebebasan mereka. Ia pernah berkata:
Aku tidak suka memerintah orang lain, dan aku juga tidak suka diperintah oleh orang lain
Aku lebih suka hidup sebagai orang biasa, yang bebas dan bahagia
Aku tidak peduli dengan dunia dan tahta, yang hanya sementara dan fana
Yazid bin Mu’awiyah juga memiliki sisi yang murah hati, dermawan, dan baik. Ia sering memberikan hadiah dan bantuan kepada orang-orang yang membutuhkan, terutama kepada para sahabat Nabi, ulama, dan fakir miskin. Ia juga sering memaafkan orang-orang yang berbuat salah atau menentangnya, dan tidak pernah membunuh atau menyiksa mereka. Ia pernah berkata:
Aku tidak suka melihat darah dan air mata, yang membuat hati menjadi sedih dan sakit
Aku lebih suka melihat senyum dan tawa, yang membuat hati menjadi gembira dan sehat
Aku tidak suka menyakiti orang lain, dan aku juga tidak suka disakiti oleh orang lain
Mengapa Yazid bin Mu’awiyah menjadi kontroversial?
Yazid bin Mu’awiyah menjadi kontroversial karena perannya dalam beberapa peristiwa tragis yang menimpa umat Islam, yang menyebabkan banyak korban jiwa, kerusakan, dan perpecahan. Peristiwa-peristiwa tersebut adalah:
Peristiwa Karbala dan pembantaian keluarga Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam
Peristiwa Karbala adalah salah satu peristiwa paling menyedihkan dan menyayat hati dalam sejarah Islam. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 10 Muharram tahun 61 H, atau 10 Oktober 680 M, di padang Karbala, Irak. Peristiwa ini melibatkan pembantaian brutal terhadap cucu Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam, yaitu Husain bin Ali, beserta keluarga dan pengikutnya, oleh pasukan Umayyah yang dipimpin oleh Ubaidillah bin Ziyad, atas perintah Yazid bin Mu’awiyah.
Peristiwa ini bermula dari penolakan Husain bin Ali untuk mengakui Yazid bin Mu’awiyah sebagai khalifah. Husain bin Ali, yang merupakan putra kedua dari Ali bin Abi Thalib dan Fatimah binti Muhammad, adalah salah satu dari Ahlul Bait, yaitu keluarga Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam, yang sangat dicintai dan dihormati oleh umat Islam. Husain bin Ali, bersama dengan saudaranya yang bernama Hasan bin Ali, dianggap sebagai pemimpin dan imam oleh kalangan Syiah, yang mengikuti ajaran dan sunnah Ahlul Bait. Husain bin Ali menolak mengakui Yazid bin Mu’awiyah sebagai khalifah, karena ia menganggap Yazid sebagai orang yang tidak layak, tidak adil, dan tidak taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Husain bin Ali juga menuntut agar Yazid menepati janji ayahnya, Mu’awiyah, yang telah berjanji untuk tidak menunjuk penggantinya dari kalangan keluarganya, melainkan dari kalangan umat Islam secara umum.
Husain bin Ali mendapat dukungan dan undangan dari sebagian besar penduduk Kufah, Irak, yang merupakan basis kekuatan Ali bin Abi Thalib dan keluarganya. Mereka menjanjikan bahwa mereka akan mendukung dan membela Husain bin Ali, jika ia datang ke Kufah untuk menentang Yazid bin Mu’awiyah. Husain bin Ali pun memutuskan untuk berangkat ke Kufah, bersama dengan keluarga dan pengikutnya, yang berjumlah sekitar 70 orang.
Namun, sebelum Husain bin Ali tiba di Kufah, Yazid bin Mu’awiyah telah mengetahui rencana dan gerak-geriknya. Yazid bin Mu’awiyah pun mengirim pasukan yang besar dan kuat, yang dipimpin oleh Ubaidillah bin Ziyad, untuk menghadang dan menangkap Husain bin Ali. Ubaidillah bin Ziyad adalah seorang gubernur yang kejam dan bengis, yang tidak segan-segan membunuh siapa saja yang menentang Yazid bin Mu’awiyah. Ubaidillah bin Ziyad juga berhasil menakut-nakuti dan mengekang penduduk Kufah, sehingga mereka tidak berani membantu atau bergabung dengan Husain bin Ali.
Husain bin Ali dan rombongannya terkepung oleh pasukan Umayyah di padang Karbala, yang tandus dan gersang. Mereka tidak diberi akses ke air dan makanan, sehingga mereka mengalami haus dan lapar. Mereka juga tidak diberi kesempatan untuk bernegosiasi atau berdamai, melainkan diminta untuk menyerah tanpa syarat, atau mati. Husain bin Ali menolak untuk menyerah, dan memilih untuk berjuang hingga akhir, demi membela kebenaran dan keadilan.
Pada tanggal 10 Muharram, atau hari Asyura, terjadilah pertempuran yang sangat tidak seimbang antara pasukan Umayyah, yang berjumlah sekitar 10.000 orang, dengan pasukan Husain bin Ali, yang hanya berjumlah sekitar 70 orang. Pertempuran ini berlangsung sangat sadis dan kejam, hingga tidak ada yang selamat dari pihak Husain bin Ali, kecuali beberapa perempuan dan anak-anak, termasuk putrinya yang bernama Zainab binti Ali, dan putranya yang bernama Ali Zainal Abidin, yang sedang sakit. Husain bin Ali sendiri tewas dengan kepala terpenggal, dan tubuhnya ditusuk-tusuk oleh tombak dan pedang. Kepala dan tubuhnya kemudian dipamerkan dan dihina oleh pasukan Umayyah, sebagai tanda kemenangan dan kekuasaan mereka.
Peristiwa Karbala ini menimbulkan kesedihan dan kemarahan yang mendalam di kalangan umat Islam, terutama dari kalangan Syiah, yang menganggap Husain bin Ali sebagai martir dan pahlawan, yang gugur dalam membela agama Allah dan Rasul-Nya. Mereka juga mengutuk dan melaknat Yazid bin Mu’awiyah, Ubaidillah bin Ziyad, dan pasukan Umayyah, sebagai orang-orang yang zalim, durhaka, dan kafir, yang telah membunuh dan menghina keluarga Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam. Mereka juga mengadakan ritual berkabung dan berduka, yang dikenal sebagai Azadari, setiap tahun pada bulan Muharram, terutama pada hari Asyura, untuk mengenang dan menghormati Husain bin Ali dan para syuhada Karbala.
Pengepungan Madinah dan pembakaran Ka’bah
Peristiwa Karbala tidak hanya menimbulkan kesedihan dan kemarahan, tetapi juga menimbulkan pemberontakan dan penentangan terhadap Yazid bin Mu’awiyah dan Dinasti Umayyah. Banyak umat Islam, terutama dari kalangan Ahlul Bait, Syiah, dan Tabiin, yang tidak mau mengakui Yazid bin Mu’awiyah sebagai khalifah, dan menganggapnya sebagai orang yang tidak sah, tidak adil, dan tidak taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka pun berusaha untuk menggulingkan Yazid bin Mu’awiyah, dan mengangkat khalifah yang lain, yang lebih layak dan lebih baik.
Salah satu pemberontakan yang terjadi adalah yang dipimpin oleh Abdullah bin Zubair, yang merupakan cucu dari Zubair bin Awwam, salah satu sahabat Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam. Abdullah bin Zubair adalah seorang yang berani, cerdas, dan saleh, yang pernah ikut serta dalam beberapa peperangan dan ekspedisi militer di zaman Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam dan khalifah-khalifah sebelumnya. Ia juga merupakan salah satu dari Tabiin, yaitu generasi kedua umat Islam, yang mengikuti ajaran dan sunnah sahabat Nabi. Abdullah bin Zubair menolak untuk mengakui Yazid bin Mu’awiyah sebagai khalifah, dan menganggapnya sebagai orang yang tidak layak, tidak adil, dan tidak taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Ia pun mengumumkan dirinya sebagai khalifah, dan mendapat dukungan dari sebagian besar penduduk Makkah, Madinah, dan Hijaz.
Yazid bin Mu’awiyah tidak tinggal diam, dan mengirim pasukan yang besar dan kuat, yang dipimpin oleh Muslim bin Uqbah, untuk menumpas pemberontakan Abdullah bin Zubair. Muslim bin Uqbah adalah seorang jenderal yang setia kepada Yazid bin Mu’awiyah, tetapi juga dikenal sebagai orang yang kejam, bengis, dan tidak beragama. Ia diberi julukan Musrif, yang berarti pemboros atau pembuang, karena ia sering membuang nyawa dan harta orang-orang yang tidak bersalah.
Muslim bin Uqbah berhasil mengalahkan pasukan Abdullah bin Zubair, dan mengepung kota Madinah, yang merupakan kota suci dan kota Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam. Ia kemudian melakukan pembantaian dan penjarahan yang mengerikan, yang dikenal sebagai Waq’atul Harrah, atau Peristiwa Batu-batu Panas. Ia membunuh ribuan orang, baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak, tanpa membedakan antara sahabat Nabi, ulama, fakir miskin, atau orang biasa. Ia juga merampas dan merusak harta benda, rumah, dan masjid, termasuk Masjid Nabawi, yang merupakan masjid pertama dan terbesar dalam Islam. Ia juga memperkosa dan menawan wanita-wanita, termasuk istri-istri dan anak-anak perempuan dari sahabat Nabi. Ia bahkan menghina dan mengotori makam Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam, dengan buang air kecil di atasnya. Ia melakukan kekejaman ini selama tiga hari, hingga tidak ada yang tersisa di kota Madinah, kecuali mayat-mayat dan puing-puing.
Setelah menyelesaikan tugasnya di Madinah, Muslim bin Uqbah melanjutkan perjalanannya ke Makkah, untuk menyerang Abdullah bin Zubair dan para pendukungnya. Ia berhasil mengepung kota Makkah, dan menembakkan panah dan katapel ke arah kota tersebut. Ia juga membakar Ka’bah, yang merupakan baitullah atau rumah Allah, yang sangat disucikan dan dihormati oleh umat Islam. Ia membakar Ka’bah dengan menggunakan manjanik, yaitu alat pelempar api yang besar dan kuat, yang dibuat dari kayu dan besi. Ia membakar Ka’bah hingga hancur dan hangus, dan menyebabkan kerusakan yang besar pada bangunan dan harta benda di sekitarnya.
Peristiwa pengepungan Madinah dan pembakaran Ka’bah ini menimbulkan kekecewaan dan kebencian yang mendalam di kalangan umat Islam, terhadap Yazid bin Mu’awiyah dan Dinasti Umayyah. Mereka menganggap Yazid bin Mu’awiyah dan pasukannya sebagai orang-orang yang durhaka, fasik, dan kafir, yang telah menghancurkan dan menghina kota-kota suci dan simbol-simbol agama Islam. Mereka juga mengadakan protes dan demonstrasi, yang dikenal sebagai Taziyah, setiap tahun pada bulan Muharram, terutama pada hari Asyura, untuk mengecam dan melawan Yazid bin Mu’awiyah dan Dinasti Umayyah.
Baca Juga: Kisah hidup Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu
Pemberontakan dan perpecahan umat Islam
Peristiwa-peristiwa tragis yang terjadi di bawah pemerintahan Yazid bin Mu’awiyah tidak hanya menimbulkan kesedihan, kemarahan, kekecewaan, dan kebencian, tetapi juga menimbulkan pemberontakan dan perpecahan umat Islam. Banyak umat Islam, terutama dari kalangan Ahlul Bait, Syiah, dan Tabiin, yang tidak mau mengakui Yazid bin Mu’awiyah sebagai khalifah, dan menganggapnya sebagai orang yang tidak sah, tidak adil, dan tidak taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka pun berusaha untuk menggulingkan Yazid bin Mu’awiyah, dan mengangkat khalifah yang lain, yang lebih layak dan lebih baik.
Selain pemberontakan yang dipimpin oleh Abdullah bin Zubair, yang telah disebutkan sebelumnya, ada juga pemberontakan yang dipimpin oleh Abdurrahman bin Muhammad bin al-Asy’ats, yang dikenal sebagai Zaid bin Ali, yang merupakan cucu dari Husain bin Ali, dan cicit dari Ali bin Abi Thalib dan Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam. Zaid bin Ali adalah seorang yang berani, cerdas, dan saleh, yang pernah belajar dari para ulama dan imam terkemuka, seperti Ja’far al-Shadiq, Malik bin Anas, dan Abu Hanifah. Ia juga merupakan salah satu dari imam-imam Syiah, yang dianggap sebagai pemimpin dan panutan oleh para pengikutnya. Zaid bin Ali menolak untuk mengakui Yazid bin Mu’awiyah sebagai khalifah, dan menganggapnya sebagai orang yang tidak layak, tidak adil, dan tidak taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Ia pun mengumumkan dirinya sebagai khalifah, dan mendapat dukungan dari sebagian besar penduduk Kufah, Irak, yang merupakan basis kekuatan Ahlul Bait dan Syiah.
Yazid bin Mu’awiyah tidak tinggal diam, dan mengirim pasukan yang besar dan kuat, yang dipimpin oleh Yusuf bin Umar al-Tsaqafi, untuk menumpas pemberontakan Zaid bin Ali. Yusuf bin Umar al-Tsaqafi adalah seorang gubernur yang setia kepada Yazid bin Mu’awiyah, tetapi juga dikenal sebagai orang yang kejam, bengis, dan tidak beragama. Ia diberi julukan al-Tsaqafi, yang berarti orang yang berasal dari Tsaqif, yaitu suku yang pernah menentang dan menyakiti Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam, ketika beliau berdakwah di kota Thaif.
Yusuf bin Umar al-Tsaqafi berhasil mengalahkan pasukan Zaid bin Ali, dan membunuh Zaid bin Ali, beserta keluarga dan pengikutnya, dengan cara yang sangat biadab dan keji. Ia tidak hanya membunuh mereka, tetapi juga memenggal kepala mereka, dan menggantung tubuh mereka di pintu-pintu kota Kufah. Ia juga membakar tubuh Zaid bin Ali, dan menyebarkan abunya di sungai. Ia melakukan kekejaman ini untuk menakut-nakuti dan menundukkan penduduk Kufah, yang telah mendukung Zaid bin Ali.
Pemberontakan Zaid bin Ali ini menimbulkan kesedihan dan kemarahan yang mendalam di kalangan umat Islam, terutama dari kalangan Syiah, yang menganggap Zaid bin Ali sebagai martir dan pahlawan, yang gugur dalam membela agama Allah dan Rasul-Nya. Mereka juga mengutuk dan melaknat Yazid bin Mu’awiyah, Yusuf bin Umar al-Tsaqafi, dan pasukan Umayyah, sebagai orang-orang yang zalim, durhaka, dan kafir, yang telah membunuh dan menghina Ahlul Bait dan imam-imam Syiah. Mereka juga mengadakan ritual berkabung dan berduka, yang dikenal sebagai Ziyarah, setiap tahun pada bulan Shafar, terutama pada hari dua puluh, untuk mengenang dan menghormati Zaid bin Ali dan para syuhada Kufah.
Pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di bawah pemerintahan Yazid bin Mu’awiyah tidak hanya menimbulkan kekerasan dan kerusakan, tetapi juga menimbulkan perpecahan umat Islam menjadi dua kelompok besar, yaitu Sunni dan Syiah. Sunni adalah kelompok yang mengikuti sunnah atau tradisi Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam dan sahabat-sahabatnya, yang dianggap sebagai generasi terbaik umat Islam. Sunni mengakui Yazid bin Mu’awiyah sebagai khalifah, meskipun mereka tidak sepenuhnya setuju dengan tindakan dan kebijakannya. Sunni menghormati Ahlul Bait dan imam-imam Syiah, tetapi tidak menganggap mereka sebagai pemimpin dan panutan. Sunni juga tidak mengadakan ritual berkabung dan berduka, yang dianggap sebagai bid’ah atau penyimpangan dari ajaran Islam yang murni.
Syiah adalah kelompok yang mengikuti ahlul bait atau keluarga Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam, yang dianggap sebagai pewaris dan penjaga ajaran Islam yang asli. Syiah menolak Yazid bin Mu’awiyah sebagai khalifah, dan menganggapnya sebagai orang yang tidak sah, tidak adil, dan tidak taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Syiah menganggap Ahlul Bait dan imam-imam Syiah sebagai pemimpin dan panutan, yang memiliki ilmu dan kewibawaan yang tinggi. Syiah juga mengadakan ritual berkabung dan berduka, yang dianggap sebagai wujud cinta dan kesetiaan kepada Ahlul Bait dan imam-imam Syiah.
Perpecahan umat Islam menjadi Sunni dan Syiah ini berlanjut hingga kini, dan menjadi salah satu faktor penyebab konflik dan ketegangan di antara umat Islam, baik di tingkat lokal, regional, maupun internasional. Perpecahan ini juga menjadi salah satu tantangan dan ujian bagi umat Islam, untuk tetap bersatu dan bersaudara, sesuai dengan sabda Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam:
Sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya masuk neraka, kecuali satu golongan. Mereka bertanya: Siapakah mereka, ya Rasulullah? Beliau menjawab: Mereka adalah orang-orang yang mengikuti apa yang aku dan para sahabatku ikuti.
Bagaimana akhir hayat Yazid bin Mu’awiyah?
Yazid bin Mu’awiyah tidak berumur panjang, dan tidak menikmati kekuasaan dan kemewahan yang ia miliki. Ia wafat pada tahun 683 M, dalam usia 36 tahun, setelah memerintah selama tiga tahun. Penyebab kematian Yazid bin Mu’awiyah tidak diketahui secara pasti, tetapi ada beberapa versi yang berbeda. Ada yang mengatakan bahwa ia mati karena sakit, ada yang mengatakan bahwa ia mati karena terkena petir, ada yang mengatakan bahwa ia mati karena keracunan, dan ada yang mengatakan bahwa ia mati karena bunuh diri.
Kematian dan penyebabnya
Versi yang paling umum dan paling mungkin adalah bahwa Yazid bin Mu’awiyah mati karena sakit. Menurut sejarawan Ibn Khaldun, Yazid bin Mu’awiyah menderita penyakit yang disebut ta’un, yang berarti wabah atau penyakit menular. Penyakit ini menyerang tubuh Yazid bin Mu’awiyah, dan membuatnya demam, muntah, dan berdarah. Ia tidak dapat disembuhkan oleh dokter-dokter yang ada, dan akhirnya meninggal dunia.
Versi yang lain adalah bahwa Yazid bin Mu’awiyah mati karena terkena petir. Menurut sejarawan Ibn Athir, Yazid bin Mu’awiyah sedang berburu di padang pasir, ketika langit mendadak menjadi gelap, dan petir menyambar-nyambar. Salah satu sambaran petir mengenai Yazid bin Mu’awiyah, dan membunuhnya seketika.
Versi yang lain lagi adalah bahwa Yazid bin Mu’awiyah mati karena keracunan. Menurut sejarawan Ibn al-Jauzi, Yazid bin Mu’awiyah diracun oleh salah satu istrinya, yang bernama Hind binti Amr bin Harits, yang berasal dari suku Bani Makhzum. Hind binti Amr bin Harits adalah seorang wanita yang cantik, cerdas, dan saleh, yang merupakan saudara perempuan dari Abdullah bin Zubair, yang telah memberontak terhadap Yazid bin Mu’awiyah. Hind binti Amr bin Harits menikah dengan Yazid bin Mu’awiyah, dengan maksud untuk membalas dendam atas pembunuhan saudaranya. Ia berhasil menyelundupkan racun ke dalam minuman Yazid bin Mu’awiyah, dan membuatnya mati.
Versi yang paling aneh dan paling tidak mungkin adalah bahwa Yazid bin Mu’awiyah mati karena bunuh diri. Menurut sejarawan Ibn al-Arabi, Yazid bin Mu’awiyah merasa sangat bersalah dan menyesal atas perbuatannya yang telah menyebabkan banyak penderitaan dan kematian bagi umat Islam. Ia pun memutuskan untuk mengakhiri hidupnya, dengan cara menusuk perutnya sendiri dengan pedang. Ia meninggal dengan penuh penyesalan dan keputusasaan.
Warisan dan penilaian sejarah
Yazid bin Mu’awiyah meninggalkan warisan yang sangat kontroversial dan bermasalah bagi umat Islam. Ia adalah penguasa yang memiliki kekuasaan dan kemewahan yang besar, tetapi juga memiliki tanggung jawab dan masalah yang besar. Ia adalah penguasa yang memiliki kepribadian dan gaya hidup yang berbeda-beda, tergantung pada sudut pandang dan penilaian orang-orang yang mengenalnya. Ia adalah penguasa yang memiliki peran dan dampak yang besar dalam sejarah Islam, tetapi juga memiliki konsekuensi dan implikasi yang besar bagi masa depan Islam.
Yazid bin Mu’awiyah adalah penguasa yang dihormati dan dikagumi oleh sebagian umat Islam, terutama dari kalangan Sunni, yang menganggapnya sebagai khalifah, pemimpin, dan pejuang, yang berjasa dalam mempertahankan dan memperluas wilayah Kekhalifahan Islam. Mereka menganggap Yazid bin Mu’awiyah sebagai orang yang berani, gagah, dan jujur, yang tidak pernah mundur dari medan perang, dan tidak pernah berpura-pura atau berdusta. Mereka juga menganggap Yazid bin Mu’awiyah sebagai orang yang murah hati, dermawan, dan baik, yang sering memberikan hadiah dan bantuan kepada orang-orang yang membutuhkan, terutama kepada para sahabat Nabi, ulama, dan fakir miskin. Mereka juga menganggap Yazid bin Mu’awiyah sebagai orang yang tidak bersalah dan tidak bertanggung jawab atas peristiwa-peristiwa tragis yang terjadi di bawah pemerintahannya, seperti Peristiwa Karbala, Pengepungan Madinah, dan Pembakaran Ka’bah. Mereka menganggap bahwa peristiwa-peristiwa tersebut adalah akibat dari kesalahpahaman, kesalahan, atau kejahatan orang-orang yang berada di bawah perintah atau pengaruhnya, seperti Ubaidillah bin Ziyad, Muslim bin Uqbah, dan Yusuf bin Umar al-Tsaqafi.
Yazid bin Mu’awiyah adalah penguasa yang dibenci dan dilaknat oleh sebagian umat Islam, terutama dari kalangan Syiah, yang menganggapnya sebagai tiran, zalim, dan kafir, yang berdosa dalam menentang dan membunuh Ahlul Bait dan imam-imam Syiah, yang merupakan keluarga dan pewaris Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam. Mereka menganggap Yazid bin Mu’awiyah sebagai orang yang tidak layak, tidak adil, dan tidak taat kepada Allah dan Rasul-Nya, yang telah melanggar janji dan perjanjian yang telah dibuat oleh ayahnya, Mu’awiyah, dengan Hasan bin Ali. Mereka juga menganggap Yazid bin Mu’awiyah sebagai orang yang bersalah dan bertanggung jawab atas peristiwa-peristiwa tragis yang terjadi di bawah pemerintahannya, seperti Peristiwa Karbala, Pengepungan Madinah, dan Pembakaran Ka’bah. Mereka menganggap bahwa peristiwa-peristiwa tersebut adalah bukti dari kekejaman, kebiadaban, dan kekufuran Yazid bin Mu’awiyah dan pasukannya, yang telah menghancurkan dan menghina kota-kota suci dan simbol-simbol agama Islam.
Pandangan berbagai mazhab dan kelompok Islam
Yazid bin Mu’awiyah adalah penguasa yang memiliki pandangan dan penilaian yang berbeda-beda dari berbagai mazhab dan kelompok Islam, yang memiliki pemahaman dan pendekatan yang berbeda-beda dalam memandang sejarah dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu. Berikut adalah beberapa pandangan dan penilaian yang berbeda-beda dari berbagai mazhab dan kelompok Islam terhadap Yazid bin Mu’awiyah:
Mazhab Hanafi: Mazhab Hanafi adalah salah satu dari empat mazhab fiqih atau hukum Islam yang paling besar dan paling luas pengikutnya di dunia. Mazhab ini didirikan oleh Abu Hanifah, yang merupakan salah satu dari Tabiin, yaitu generasi kedua umat Islam, yang mengikuti ajaran dan sunnah sahabat Nabi. Mazhab Hanafi menganggap Yazid bin Mu’awiyah sebagai khalifah yang sah, tetapi tidak sebagai khalifah yang baik. Mazhab Hanafi mengkritik Yazid bin Mu’awiyah atas perbuatannya yang telah menyebabkan banyak penderitaan dan kematian bagi umat Islam, terutama bagi Ahlul Bait dan imam-imam Syiah. Mazhab Hanafi juga menghormati Husain bin Ali dan Zaid bin Ali, sebagai syuhada dan pahlawan, yang gugur dalam membela agama Allah dan Rasul-Nya. Mazhab Hanafi tidak mengadakan ritual berkabung dan berduka, tetapi juga tidak melarangnya, selama tidak melanggar syariat Islam.
Mazhab Maliki: Mazhab Maliki adalah salah satu dari empat mazhab fiqih atau hukum Islam yang paling besar dan paling luas pengikutnya di dunia. Mazhab ini didirikan oleh Malik bin Anas, yang merupakan salah satu dari Tabiin, yaitu generasi kedua umat Islam, yang mengikuti ajaran dan sunnah sahabat Nabi. Mazhab Maliki menganggap Yazid bin Mu’awiyah sebagai khalifah yang tidak sah, tetapi juga tidak sebagai kafir. Mazhab Maliki mengkritik Yazid bin Mu’awiyah atas perbuatannya yang telah menyebabkan banyak penderitaan dan kematian bagi umat Islam, terutama bagi Ahlul Bait dan imam-imam Syiah. Mazhab Maliki juga menghormati Husain bin Ali dan Zaid bin Ali, sebagai syuhada dan pahlawan, yang gugur dalam membela agama Allah dan Rasul-Nya. Mazhab Maliki tidak mengadakan ritual berkabung dan berduka, tetapi juga tidak melarangnya, selama tidak melanggar syariat Islam.
Mazhab Syafii: Mazhab Syafii adalah salah satu dari empat mazhab fiqih atau hukum Islam yang paling besar dan paling luas pengikutnya di dunia. Mazhab ini didirikan oleh Muhammad bin Idris al-Syafii, yang merupakan salah satu dari Tabiin, yaitu generasi kedua umat Islam, yang mengikuti ajaran dan sunnah sahabat Nabi. Mazhab Syafii menganggap Yazid bin Mu’awiyah sebagai khalifah yang tidak sah, dan juga sebagai kafir. Mazhab Syafii mengkritik Yazid bin Mu’awiyah atas perbuatannya yang telah menyebabkan banyak penderitaan dan kematian bagi umat Islam, terutama bagi Ahlul Bait dan imam-imam Syiah. Mazhab Syafii juga menghormati Husain bin Ali dan Zaid bin Ali, sebagai syuhada dan pahlawan, yang gugur dalam membela agama Allah dan Rasul-Nya. Mazhab Syafii mengadakan ritual berkabung dan berduka, yang dikenal sebagai Aza, setiap tahun pada bulan Muharram, terutama pada hari Asyura, untuk mengenang dan menghormati Husain bin Ali dan para syuhada Karbala.
Mazhab Hanbali: Mazhab Hanbali adalah salah satu dari empat mazhab fiqih atau hukum Islam yang paling besar dan paling luas pengikutnya di dunia. Mazhab ini didirikan oleh Ahmad bin Hanbal, yang merupakan salah satu dari Tabiin, yaitu generasi kedua umat Islam, yang mengikuti ajaran dan sunnah sahabat Nabi. Mazhab Hanbali menganggap Yazid bin Mu’awiyah sebagai khalifah yang sah, tetapi tidak sebagai khalifah yang baik. Mazhab Hanbali mengkritik Yazid bin Mu’awiyah atas perbuatannya yang telah menyebabkan banyak penderitaan dan kematian bagi umat Islam, terutama bagi Ahlul Bait dan imam-imam Syiah. Mazhab Hanbali juga menghormati Husain bin Ali dan Zaid bin Ali, sebagai syuhada dan pahlawan, yang gugur dalam membela agama Allah dan Rasul-Nya. Mazhab Hanbali tidak mengadakan ritual berkabung dan berduka, tetapi juga tidak melarangnya, selama tidak melanggar syariat Islam.
Mazhab Ja’fari: Mazhab Ja’fari adalah salah satu dari mazhab fiqih atau hukum Islam yang paling besar dan paling luas pengikutnya di dunia, terutama di Iran, Irak, Lebanon, Bahrain, dan sebagian dari India, Pakistan, dan Afghanistan. Mazhab ini didirikan oleh Ja’far al-Shadiq, yang merupakan cicit dari Husain bin Ali, dan buyut dari Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam. Mazhab Ja’fari adalah mazhab utama dari kalangan Syiah, yang mengikuti ajaran dan sunnah Ahlul Bait dan imam-imam Syiah. Mazhab Ja’fari menolak Yazid bin Mu’awiyah sebagai khalifah, dan menganggapnya sebagai tiran, zalim, dan kafir, yang berdosa dalam menentang dan membunuh Ahlul Bait dan imam-imam Syiah. Mazhab Ja’fari menghormati Husain bin Ali dan Zaid bin Ali, sebagai syuhada dan pahlawan, yang gugur dalam membela agama Allah dan Rasul-Nya. Mazhab Ja’fari mengadakan ritual berkabung dan berduka, yang dikenal sebagai Aza, setiap tahun pada bulan Muharram, terutama pada hari Asyura, untuk mengenang dan menghormati Husain bin Ali dan para syuhada Karbala.
Mazhab Zaidiyah: Mazhab Zaidiyah adalah salah satu dari mazhab fiqih atau hukum Islam yang paling kecil dan paling terbatas pengikutnya di dunia, terutama di Yaman, dan sebagian dari Iran, Irak, dan India. Mazhab ini didirikan oleh Zaid bin Ali, yang merupakan cucu dari Husain bin Ali, dan cicit dari Ali bin Abi Thalib dan Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam. Mazhab Zaidiyah adalah mazhab minoritas dari kalangan Syiah, yang mengikuti ajaran dan sunnah Zaid bin Ali dan para imam yang berasal dari keturunannya. Mazhab Zaidiyah menolak Yazid bin Mu’awiyah sebagai khalifah, dan menganggapnya sebagai tiran, zalim, dan kafir, yang berdosa dalam menentang dan membunuh Zaid bin Ali dan para syuhada Kufah. Mazhab Zaidiyah menghormati Zaid bin Ali, sebagai syahid dan pahlawan, yang gugur dalam membela agama Allah dan Rasul-Nya. Mazhab Zaidiyah mengadakan ritual berkabung dan berduka, yang dikenal sebagai Ziyarah, setiap tahun pada bulan Shafar, terutama pada hari dua puluh, untuk mengenang dan menghormati Zaid bin Ali dan para syuhada Kufah.
Baca Juga: Kisah hidup Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhu
Kesimpulan
Yazid bin Mu’awiyah adalah salah satu tokoh sejarah Islam yang paling dikenal, tetapi juga paling dibenci. Ia adalah penguasa kedua dari Dinasti Umayyah, yang memerintah Kekhalifahan Islam dari tahun 680 hingga 683 M. Ia adalah putra dari Mu’awiyah bin Abu Sufyan, penguasa pertama Umayyah yang mendirikan dinasti tersebut setelah mengalahkan Ali bin Abi Thalib, sepupu dan menantu Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam.
Yazid bin Mu’awiyah menjadi terkenal karena perannya dalam beberapa peristiwa tragis yang menimpa umat Islam, seperti Peristiwa Karbala, Pengepungan Madinah, dan Pembakaran Ka’bah. Ia juga dianggap sebagai penyebab utama perpecahan umat Islam menjadi Sunni dan Syiah, yang hingga kini masih berlanjut. Ia mendapat banyak kritik dan kecaman dari sebagian besar umat Islam, terutama dari kalangan Syiah, yang menganggapnya sebagai tiran, zalim, dan fasik. Namun, ia juga memiliki beberapa pendukung dan pengagum, terutama dari kalangan Sunni, yang menghormatinya sebagai khalifah, pemimpin, dan pejuang.
Dalam artikel ini, kita telah membahas kisah hidup Yazid bin Mu’awiyah, mulai dari latar belakang keluarga dan masa kecilnya, karier militer dan politiknya, kepribadian dan gaya hidupnya, hingga akhir hayat dan warisannya. Kita juga telah mengetahui mengapa ia menjadi kontroversial, dan bagaimana pandangan berbagai mazhab dan kelompok Islam terhadapnya. Kita dapat menyimpulkan bahwa Yazid bin Mu’awiyah adalah penguasa yang memiliki sisi positif dan negatif, yang harus kita pandang dengan objektif dan adil, tanpa prasangka dan fanatisme. Kita juga dapat belajar dari sejarah dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu, untuk mengambil hikmah dan pelajaran, agar kita dapat menjadi umat Islam yang lebih baik dan lebih bersatu.
FAQ
Apa nama lengkap Yazid bin Mu’awiyah?
Nama lengkap Yazid bin Mu’awiyah adalah Yazid bin Mu’awiyah bin Abu Sufyan bin Harb bin Umayyah bin Abd Syams bin Abd Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin al-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan.
Kapan dan di mana Yazid bin Mu’awiyah lahir?
Yazid bin Mu’awiyah lahir pada tahun 647 M di Damaskus, Suriah, yang saat itu merupakan ibu kota Kekhalifahan Islam.
Siapa orang tua Yazid bin Mu’awiyah?
Ayah Yazid bin Mu’awiyah adalah Mu’awiyah bin Abu Sufyan, yang merupakan gubernur Suriah dan pemimpin klan Banu Umayyah, salah satu klan terkemuka dari suku Quraisy. Ibunya adalah Maisun binti Bahdal, yang berasal dari suku Kalb, salah satu sekutu Banu Umayyah.
Siapa saudara-saudara Yazid bin Mu’awiyah?
Yazid bin Mu’awiyah memiliki seorang adik laki-laki bernama Abd Allah, dan dua adik perempuan bernama Umm Kulthum dan Fatimah. Ia juga memiliki beberapa saudara tiri dari istri-istri ayahnya yang lain, seperti Yazid bin Khalid, Marwan bin Hakam, dan Abd al-Malik bin Marwan.
Siapa istri-istri Yazid bin Mu’awiyah?
Yazid bin Mu’awiyah memiliki beberapa istri, yang berasal dari berbagai suku dan keluarga. Beberapa di antaranya adalah:
Fakhitah binti al-Walid bin Utbah bin Rabi’ah, yang merupakan putri dari al-Walid bin Utbah, salah satu sahabat Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam, dan sepupu dari ayahnya, Mu’awiyah. Ia adalah istri pertama Yazid bin Mu’awiyah, dan ibu dari putranya yang bernama Mu’awiyah bin Yazid.
Hind binti Amr bin Harits, yang merupakan putri dari Amr bin Harits, salah satu pemimpin suku Bani Makhzum, dan saudara perempuan dari Abdullah bin Zubair, yang telah memberontak terhadap Yazid bin Mu’awiyah. Ia adalah istri kedua Yazid bin Mu’awiyah, dan diduga sebagai orang yang meracuninya hingga mati.
Umm Khalid binti Yazid bin Mu’awiyah, yang merupakan putri dari Yazid bin Mu’awiyah sendiri, dari istri lain yang tidak diketahui namanya. Ia adalah istri ketiga Yazid bin Mu’awiyah, dan ibu dari putranya yang bernama Khalid bin Yazid. Ia menikah dengan ayahnya sendiri, karena ayahnya ingin menjaga kehormatan dan warisannya.
Siapa anak-anak Yazid bin Mu’awiyah?
Yazid bin Mu’awiyah memiliki beberapa anak, baik laki-laki maupun perempuan, dari istri-istri yang berbeda. Beberapa di antaranya adalah:
Mu’awiyah bin Yazid, yang merupakan putra sulung Yazid bin Mu’awiyah, dari istri pertamanya, Fakhitah binti al-Walid. Ia menggantikan ayahnya sebagai penguasa ketiga Umayyah, setelah ayahnya wafat pada tahun 683 M. Namun, ia tidak berumur panjang, dan wafat setelah memerintah selama 40 hari, karena sakit atau keracunan. Ia tidak memiliki anak, dan tidak menunjuk penggantinya.
Khalid bin Yazid, yang merupakan putra bungsu Yazid bin Mu’awiyah, dari istri ketiganya, Umm Khalid binti Yazid. Ia adalah seorang yang cerdas, berbakat, dan berilmu, yang tertarik dengan bidang kimia, astronomi, dan matematika. Ia juga adalah seorang yang saleh, dermawan, dan baik, yang sering membantu dan bersedekah kepada orang-orang yang membutuhkan. Ia tidak pernah terlibat dalam urusan politik dan pemerintahan, dan lebih suka mengurusi urusan ilmu dan ibadah. Ia wafat pada tahun 704 M, karena sakit atau keracunan. Ia memiliki beberapa anak, di antaranya adalah Umar bin Khalid, yang menjadi salah satu ulama dan ahli hadis terkemuka.
Umm Hani binti Yazid, yang merupakan putri Yazid bin Mu’awiyah, dari istri yang tidak diketahui namanya. Ia menikah dengan Abd al-Malik bin Marwan, yang merupakan saudara tiri ayahnya, dan penguasa kelima Umayyah. Ia adalah ibu dari al-Walid bin Abd al-Malik, yang merupakan penguasa keenam Umayyah, dan Sulaiman bin Abd al-Malik, yang merupakan penguasa ketujuh Umayyah.
Sumber
(1) Yazid bin Muawiyah – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas yang memberikan informasi umum tentang latar belakang, awal kehidupan, masa kekuasaan, akhir hayat, dan warisan Yazid bin Mu’awiyah.
(2) Biografi Yazid bin Muawiyah, Khalifah Bani Umayyah Kedua – Kompas.com, yang memberikan ringkasan tentang biografi Yazid bin Mu’awiyah, termasuk peran dan dampaknya dalam sejarah Islam.
(3) (PDF) Khalifah Yazid bin Mu’awiyah – Academia.edu, yang memberikan analisis kritis tentang kepribadian, gaya hidup, dan kebijakan Yazid bin Mu’awiyah, serta pandangan berbagai mazhab dan kelompok Islam terhadapnya.
(4) Biografi Yazid bin Muawiyah – Atsar, yang memberikan ulasan tentang silsilah, keluarga, dan keturunan Yazid bin Mu’awiyah, serta sumber buku yang digunakan.