Mengulas wacana keberagamaan, sering kita temui pandangan yang menyatakan “beragama secara sederhana”, “beragama dengan cara yang wajar”, “beragama yang sejalan dengan fitrah kemanusiaan”, dan sejenisnya. Pandangan-pandangan ini kerap diutarakan untuk membenarkan tindakan tertentu, atau sebaliknya, untuk mengkritik perilaku dan menunjukkan dimana letak kesalahannya.
Mari kita selami lebih dalam pernyataan ini dan mengkaji kembali apa yang dimaksud dengan beragama secara sederhana.
Apa yang dimaksud dengan beragama secara sederhana?
Meskipun pernyataan semacam ini kerap kita dengar, namun jarang sekali kita temukan penjelasan yang memadai. Lantas, berdasarkan kriteria apa suatu tindakan dikategorikan sebagai beragama secara sederhana? Atau kapan suatu tindakan dianggap menyimpang dari norma beragama yang sederhana?
Lebih lanjut, apabila pandangan tersebut dijadikan sebagai ukuran atau norma untuk menilai suatu tindakan, maka pandangan itu tidak lagi sekadar rangkaian kata atau terminologi, melainkan bertransformasi menjadi standar yang dipakai masyarakat untuk menilai sesuatu. Masyarakat pun menjadi berhak untuk menolak atau menerima, menyenangi atau mengizinkan sesuatu berdasarkan karakteristik “biasa”, “normal”, dan “alami”. Oleh karena itu, sebelum kita mengadopsi pandangan semacam itu sebagai justifikasi, ada baiknya kita merenung sejenak, “Apa dasar yang digunakan untuk menilai sesuatu itu biasa, normal, atau alami?”
Sayangnya, pertanyaan seperti itu seringkali tidak terpikirkan oleh “mereka” yang sering menggunakannya. Padahal, pandangan tersebut kerap kali dijadikan alasan untuk membenarkan suatu opini atau perilaku dan menolak ajaran agama. Ini merupakan bentuk ketidakilmiahan dalam berpendapat. Alih-alih menelaah pandangan-pandangan tersebut, lalu menganalisis dan mengaitkannya kembali dengan prinsip-prinsip syariat, justru pandangan itulah yang dijadikan norma untuk menilai prinsip dan asas syariat.
Potensi Makna “Beragama secara Sederhana”
Jika dikatakan bahwa suatu pola beragama tertentu itu biasa atau normal, mungkin maksudnya adalah beragama yang moderat, tidak ekstrem dan tidak menambah-nambah aturan syariat. Normal, biasa, dan sesuai dengan fitrah manusia berarti sesuai dengan dalil-dalil syariat, tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor baru yang menyimpang dari ajaran agama. Dengan demikian, maksud dari pengucap adalah membedakan antara beragama yang dipengaruhi oleh faktor tertentu dan beragama yang sejati, yaitu yang sesuai dengan syariat dan bebas dari pengaruh eksternal. Dalam hal ini, maksud dari pengucap adalah kembali kepada beragama yang sesuai dengan syariat.
Berdasarkan maksud tersebut, beragama secara biasa dan normal pada hakikatnya adalah beragama yang mengikuti syariat dan tidak bertentangan dengan hukum syariat.
Jika maksudnya adalah seperti itu, maka itu adalah maksud yang sangat mulia. Karena, hal tersebut menekankan pada prinsip metodologi yang sangat penting, yaitu kembali kepada dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi-Nya ﷺ.
Namun, terdapat keanehan dalam penamaan istilah beragama secara biasa, normal, dan sesuai dengan fitrah manusia. Karena, penamaan tersebut menimbulkan ambiguitas dan kebingungan makna. Oleh karena itu, yang perlu diperhatikan di sini adalah penegasan bahwa wajib bagi mereka yang menggunakan istilah ini untuk menjadikan kritik yang ditujukan kepada suatu pemikiran atau pendapat, berdasarkan apakah pemikiran atau pendapat tersebut bertentangan dengan syariat atau tidak; serta harus memiliki niat yang ikhlas untuk mengajak umat kembali kepada syariat agama Islam.
Kriteria untuk Menggunakan Istilah Ini
Agar seseorang dapat menggunakan istilah ini dengan tepat, maka harus memperhatikan dua aspek berikut:
Pertama: Orang yang mengucapkan harus memastikan bahwa ajakannya benar-benar merupakan bagian dari syariat
Dengan demikian, seseorang tidak seharusnya menciptakan ilusi seakan-akan ia mengundang kepada syariat, sementara kenyataannya bukanlah dari syariat. Dengan kata lain, tidak sepatutnya seseorang memasukkan unsur-unsur adat, budaya, atau konstruksi sosial ke dalam agama dengan anggapan bahwa hal-hal tersebut merupakan bagian dari agama. Namun, ini tidak berarti bahwa adat atau kebiasaan harus diabaikan sepenuhnya. Yang tidak dapat diterima adalah ketika seseorang mengangkat adat tersebut ke tingkat hukum syariat, lalu mengajak orang lain untuk mengikuti adat itu dengan alasan bahwa itu merupakan bagian dari hukum syariat Islam.
Kedua: Orang yang mengucapkan tidak boleh mengajak kepada hal yang bertentangan dengan syariat dengan dalih beragama secara biasa
Jika ajakan untuk beragama secara biasa itu bertentangan dengan syariat atau menolak sesuatu yang diperintahkan oleh syariat, maka tidak seharusnya seseorang mengklaim beragama secara biasa dengan tujuan untuk mengikuti syariat. Sebab, pada hakikatnya, ia mengajak orang lain untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan syariat. Misalnya, beberapa orang menolak atau meremehkan kewajiban mengenakan hijab, menjaga shalat lima waktu di masjid, dan menjaga amalan-amalan sunnah dengan alasan bahwa hal-hal tersebut terlalu fanatik dan berlebihan. Mereka berpendapat, “beragama itu cukup yang biasa-biasa saja.” Jika demikian, maka klaim beragama secara biasa pada dasarnya adalah bermaksiat kepada Allah Ta’ala.
Dengan memahami kedua aspek tersebut, kita akan menyadari celah kesalahan dari pandangan-pandangan seperti itu. Sebab, bagi mereka yang mengucapkannya, memenuhi kewajiban dan menjauhi larangan adalah indikasi beragama yang fanatik, berlebihan, atau ekstrem. Dan ketika kita menegur pemilik pandangan tersebut, mereka seringkali berkelit, “Jangan terlalu sensitif, santai saja dalam membahas masalah ini.”
Baca Juga: Keefektifan Berdakwah Melalui Media Sosial
Alasan Munculnya Pandangan Seperti Ini
Pola pikir seperti ini muncul ketika beragama secara biasa menurut mereka didasarkan pada kebiasaan atau perilaku yang lazim di masyarakat. Jadi, jika seseorang terbiasa dengan transaksi ribawi, meremehkan penutupan aurat, terlalu “toleran” dalam menundukkan pandangan, terlalu santai dalam berinteraksi dengan lawan jenis, mendengarkan musik, maka standar normal bagi mereka tidak seharusnya dinormalisasi. Kita harus tetap menganggap hal-hal tersebut serius. Sebab, hukum Allah tidak berubah seiring waktu. Allah tidak menghalalkan yang haram hanya karena telah menjadi budaya yang umum. Allah Ta’ala telah memperingatkan kita tentang hal ini.
وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِى ٱلْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ ۚ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا ٱلظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ
“Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Yang mereka ikuti hanya persangkaan belaka dan mereka hanyalah membuat kebohongan.” (QS. Al-An‘ām: 116)
Maka, menganggap suatu pola beragama tertentu sebagai berlebihan hanya karena bertentangan dengan kebiasaan masyarakat adalah suatu kesalahan pemahaman. Sebab, Allah sendirilah yang telah menginformasikan bahwa mayoritas manusia di muka bumi ini tidak mengikuti kebenaran.
Imam Malik rahimahullah pernah menyatakan ketika mendefinisikan standar kebenaran, yang seharusnya menjadi acuan,
كُلُّ أَحَدٍ يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ وَيُرَدُّ إِلا صَاحِبَ هَذَا الْقَبْرِ ﷺ
“Setiap orang ucapannya dapat diterima atau ditolak, kecuali pemilik kubur ini (yaitu Rasulullah).”
Dalam Ensiklopedia Akidah (Al-Mawsū‘ah Al-‘Aqā’idiyyah) dorar.net, juga dijelaskan bahwa salah satu prinsip dalam menentukan kebenaran adalah
الحقُّ ما وافق الدَّليلَ من غيرِ التفاتٍ إلى كثرةِ المُقبِلينَ، أو قِلَّة المعرِضينَ؛ فالحَقُّ لا يوزَن بالرِّجالِ، وإنَّما يوزَن الرِّجالُ بالحَقِّ، ومجرَّدُ نُفورِ النَّافِرينَ، أو محبَّةُ الموافِقينَ لا يدُلُّ على صِحَّةِ قَولٍ أو فسادِه.
“Kebenaran dinilai berdasarkan kesesuaiannya dengan dalil, bukan banyaknya orang yang menerima atau sedikitnya orang yang menolak. Sebab, kebenaran tidak ditimbang berdasarkan opini seseorang. Akan tetapi, opini seseorang yang perlu ditimbang dengan kebenaran. Ketiadaan orang yang menerima kebenaran atau cintanya orang-orang “munafik” terhadap suatu hal, tidak membuat suatu ucapan menjadi benar atau salah.”
Kesimpulan
Jangan biarkan nafsu dan keinginan pribadi menjadi dasar penilaian atas suatu tindakan. Sehingga, sesuatu yang merupakan bagian dari ajaran Islam dianggap fanatik atau berlebihan. Terlebih lagi, jika pandangan tersebut diungkapkan ketika melihat teman atau kerabat yang mulai berhijrah dan memperbaiki diri dengan mengikuti syariat Islam dan mempelajari agama dengan sungguh-sungguh. Kepada mereka, kami sampaikan firman Allah,
أَفَنَجْعَلُ ٱلْمُسْلِمِينَ كَٱلْمُجْرِمِينَ مَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ أَمْ لَكُمْ كِتَـٰبٌۭ فِيهِ تَدْرُسُونَ إِنَّ لَكُمْ فِيهِ لَمَا تَخَيَّرُونَ
“Apakah patut Kami memperlakukan orang-orang (menjalankan syariat) Islam itu seperti orang-orang berdosa? Ada apa dengan kalian? Bagaimana kalian membuat keputusan? Atau apakah kalian mempunyai kitab yang kalian baca? Sehingga kalian bisa memiliki apa pun yang kalian pilih?” (QS. Al-Qalam: 35-38)
Sikap yang seharusnya diambil ketika melihat seseorang yang rajin beribadah dan menuntut ilmu adalah:
Pertama: Berusaha untuk menirunya
Kedua: Jika tidak mampu, maka berdoalah agar bisa menjadi seperti dia
Ketiga: Jika masih tidak mampu, setidaknya jangan merendahkan atau mencemooh dengan berkata, “Cukuplah beragama dengan cara yang biasa saja.”
Karena, jika seseorang berani mengucapkan kata-kata seperti itu, maka dapat dipastikan bahwa orang tersebut tidak memiliki rasa hormat terhadap ajaran Islam atau kurang pengetahuan, namun tidak berusaha untuk meningkatkan keilmuannya, sehingga menjadi sombong dengan sedikit ilmu yang dimilikinya. Oleh karena itu, hendaklah kita menjadi orang yang rendah hati, sebagaimana dikatakan oleh Imam Syafi‘i rahimahullah,
أحب الصالحين ولست منهم لَعَلّي أَن أَنالَ بِهِم شَفاعَه
“Aku mencintai orang-orang saleh, meskipun aku bukan bagian dari mereka. Semoga dengan membersamai mereka, aku mendapat syafaat.”
Baca Juga: Menghadapi Masalah dengan Kesabaran